Makalah Ilmu Pendidikan Islam "Peserta DIdik Dalam Pendidikan Islam"

PENDAHULUAN


          Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan

          Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.

          Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.

          Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam pendidikan Islam memiliki aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan kembangkan dalam kajian pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam, kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat serta kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam.

Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian peserta didik
2. Untuk mengetahui tentang kebutuhan-kebutuhan peserta didik
3. Untuk mengetaui dimensi serta intelegensi peserta didik
4. Untuk mengetahui tentang kode etik peserta didik




PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN PESERTA DIDIK
          Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara  fisik mupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik. Pertumbuhannya  menyangkut fisik dan perkembangan menyangkut psikis.

          Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah anggota mayarakat yang beruaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jsenis pendidikan tertentu.

Syamsul Nizar mendeskripsikan enam kriteria peserta didik :

1) Peserta didik bukanlah miniatur  orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
2) Peserta didik memiliki periodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
3) Peserta didik adalah makhluk Allah yang  memilki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor  bawaan maupun lingkungan dimana ia berada 
4) Peserta didik merupakan dua unsur  utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik dan unsur rohani memilki daya akal nurani dan nafsu.
5) Peserta didik adalah manusia yang memilki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

          Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara  istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya disekolah (pendidikan formal) tapi juga lembaga pendidikan di mayarakat, seperti Majlis Ta’lim, Paguyuban dan lain-lain.

          Sama halnya dengan teori peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, pikologis, sosial, religius, dalam mengarungi kehidupan didunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberikan arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak  kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak- anak penduduk adalah peserta didik mayarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.

          Didalam proses pendidikan peserta didik disamping sebagai objek juga sebagai objek. Oleh karena itu agar seorang pendidik berhasil dalam proses pedidikan, maka ia harus memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya.  Diantara apek yang harus dipahami oleh pendidik yaitu kebutuhnnya, dimensi-dimensinya, intelegensinya dan kepribadiannya.


B. KEBUTUHAN  PESERTA DIDIK

1. Kebutuhan Fisik 
    Fisik peserta didik mengalami pertumbuhan fisik yang cepat terutama pada masa pubertas. Kebutuhan biologis, yaitu berupa makan, minum, dan istirahat, dimana hal ini menuntut  peserta didik untuk memenuhinya.

2. Kebutuhan Sosial 
    Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, seperti diterima oleh teman-temannya secara wajar. 

3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status 
    Peserta didik terutama  pada usia remaja membutuhkan seuatu yang menjadikan dirinya  berguna bagi masyarakat. 

4. Kebutuhan Untuk Mandiri  
    Peserta didik pada usia remaja ingin lepas dari batasan-batasan atau aturan orang tuanya dan mencoba untuk mengarahkan dan mendisiplinkan dirinya sendiri.
5. Kebutuhan Untuk Berprestasi 

    Dengan terpenuhinya kebutuhan untuk memiliki status atau penghargaan dan kebutuhan untuk hidup mandiri dapat membut peserta didik giat untuk mengejar prestasi.

6. Kebutuhan Ingin Disayangi Dan Dicintai 
    Rasa ingin disayangi dan dicintai merupakan kebutuhan yang esensial, karena dengan terpenuhi kebutuhan ini akan mempengaruhi sikap mental peserta didik.

7. Kebutuhan Untuk Curhat
    Kebutuhan untuk curhat terutama remaja dimaksudkan suatu kebutuhan untuk dipahami ide-ide dan permasalahan yang dihadapinya.

8. Kebutuhan Untuk Memiki Filsafat Hidup (Agama)
    Kebenaran dan nilai-nilai ideal yang murni hanya ditemukan dalam agama. Oleh karena itu peserta didik sangat membutuhkan agama.

          Kebutuhan-kebutuhan murid di atas harus diperhatikan oleh setiap pendidik, sehingga anak didik tumbuh dan berkembang mencapai kematangan psikis dan fisik. 

          Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori ,yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic need) yang meliputi kebutuhan fisik;rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan- metakebutuhan (meta need), meliputi apa saja yang terkndung  dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya.


C. DIMENSI-DIMENSI PESERTA DIDIK

1) Dimensi Fisik (Jasmani)
          Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multi dimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi fisik dan rohani. seara rohani, manuia mempunyai potseni kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (ulil albab), dapat berfikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu, berkessenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manuia lahir ke dunia telah membawa fitrah.  

2) Dimensi Akal
          Al  Isfahami, membagi akal manusia kepada dua macam yaitu:

a. Aql al mathhu’
Akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah ilahi. Akal ini menduduki posisi yang sangt tinggi, namun demikian, akal ini tidak akan bisa berkembang dengan baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal lainnya, yaitu aql al-masmu’

b. Aql al masmu’
Akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat  aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan proses pengindraan, secara bebas.

          Meskipun demikian kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan bantuan al qolbu. Sebab dengan al qolbu tersebut manusia dapat merasakan eksistensi  arti immateril dan kemampun menganalisanya  lebih lanjut.
          Dalam dunia pedidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia  atau anak didik dikenal dengan istilah kognitif.  Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas kognisi ialah peroleh, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu peranan pikologis yang berpusat di otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan.
          Mendidik akal tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasarnya. Potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternatif berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan pendidikan yang baik, akal yang masih berupa potensi akhirnya  menjadi akal yang siap dipergunakan. Sebaliknya, membiarkan potensi akal tanpa pengarahan yang positif, akibatnya bisa fatal. Karenanya pendidikan akal memiliki arti yang penting dibatasi pandangan itu.

3) Dimensi Keberagamaan 
          Manusia adalah makhluk berketuhanan atau disebut homodivonius (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homo religius  artinya makhluk yang beragama.  Dalam pandangan islam, sejak lahir manusia telah mempunyi jiwa  agama, jiwa yang mengakui adanya  yang maha pencipta  dan  maha kuasa yaitu allah. Sejak  di alam ruh manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah tuhannya.

          Islam memandang ada suatu kesamaan diantara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah  tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehingga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.

          Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan yang lain. Dalam konteks makro, pandangan islam terhadap manuia ada tiga implikai dasar yaitu pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, dimana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimte goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.

          Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan kecenderungan manusia pada objek-objek tertentu. 
Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan islam dirumuskan untuk membentuk insan muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

4) Dimensi Akhlak
          Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan rapat dengan pendidikan akhlak. Hampir-hampir sepakat filosof-filosof pendidikan islam, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi pendidikan islam adalah pembinaan akhlak al-karimah.

          Akhlak  menurut pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali dari itu muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung, yang dekat yaitu harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridho Allah SWT.

          Pembentukan akhlak yang mulia  merupakan tujuan utama pendidikn islam. Tujuan pendidikan akhlak dalam islam adalah untuk mmbentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam bertingkah laku, bersifat bijaksana, sopan dan beradab, ikhlas jujur, dan suci. Berdasarkan tujuan ini maka setiap saat, kedaan, pelajaran, aktivitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segalanya.

5) Dimensi Rohani (Kejiwaan)
          Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar hidup sehat, tenteram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.

          Ruh manusia itu bisa berkembang ke taraf yang lebih tinggi apabila manusia berusaha kearah itu. Menurut Al-Ghazali jalan kearah itu adalah dengan peningkatan iman, amal dan mempererat hubungan yang terus menerus dengan Allah SWT , melalui ibadah terus menerus, tilawah Al Qur’an, dan do’a atau dengan kata lain melalui pseningkatan keberagamaan. Dengan memperbanyak ibadah maka rohani manusia akan mencapai kebahagiaan dan ketentraman yang tiada taranya.

          Oleh karena itu maka dalam rangka terlaksana usaha untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut adalah dengan pendidikan agama. Yang dimaksud dengan pendidikan agama tidak hanya upaya untuk membekali anak didik  dengan pengetahuan agama, tapi sekaligus upaya untuk menanamkan nilai keagamaan dan membentuk sikap keagamaan sehingga menjadi bagian dari kepribadian mereka. 

6) Dimensi Seni (Keindahan)
          Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah  telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga, dan lain sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.

          Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, tapi juga menekankan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan. Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ia semakin mampu untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang diciptakan allah di alam. seorang mukmin juga mencintai keindahan, karena rabbnya mencintai yang indah.
 
          Seni bagi seorang mukmin adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada allah dan mseningkatkan keimanan, bukan menjadi suatu yang dapat msenimbulkan kelalaian dan kesombongan yang dibenci oleh allah dan manusia. Oleh karena itu seorang pendidik hendaklah mampu mengarahkan anak didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan allah maupun memotivasi merek agar mampu mengungkapkan nilai-nilai sseni terebut sesuia dengan bakat dan kemampuan mereka masing-masing.

7) Dimensi Sosial
          Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi politik dalam rangka aqidah islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang dapat mseningkatkan iman, taqwa, takut kepada allah dan mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air, dan lainnya bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.


D. INTELEGENSI PESERTA DIDIK 
          Intelegensi (kecerdaan) dalam bahasa inggris disebut intellegene dan bahasa arab diebut al dzaka menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan.

          Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif(al majal al ma’rifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manuia bukan sekedar semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al infi’ali), seperti kehidupan emosionl, moral, spiritual dan agama. Pada  saat ini pemahaman terhadap kecerdasan itu sudah berkembang diantaranya : kecerdasan intelektual, kecerdasan emosionl, kecerdaan spiritual dan kecerdasan qalbu. Semua  jenis kecerdasan ini perlu di kembangkan dalam pendidikan islam. 

1. Kecerdasan intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdaan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain. Selanjutnya  menurut Danah Zohar dan Marshall, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif. Seperti berfikir, daya menghubungkan, msenilai dan memilh serta mempertimbangkan sesuatu.

          Kecerdaan intelektual berbeda pada setiap orang. Hal ini dilatarbelakangi oleh perbedaan seseorang dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya dalam pembelajran. Dalam proses pembelajaran masalah kecerdasan intelektual merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan berhasil atau tidaknya seorang dalam hal belajar.

          Dalam dunia pedidikan kemampuan akal manusia atau anak didik dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas kognisi adalah memperoleh penataan dan penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu aspek psikologis yang berpusat di otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan.

          Adapun pendidikan akal, berdasarkan semangat islam dapat melahirkan akal yang sempurna menurut ukuran ilmu dan taqwa. Melalui pendidikan akal seseorang diharapkan mencapai tingkat perkembangan yang optimal, sehingga mampu berperan sebagaimana yang diharapkan yaitu untuk berfikir dn berzikir.

2. Kecerdasan emosional
          Robert K Cooper mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra, memahami, dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh. Peter Salovey  dan Jack Mayer, pencipta istilah kecerdasan emosional, menjelaskan sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan meraih dan membangkitkan peran untuk membantu pikiran memahami peran, mengendlikan perasaan secara mendalam sehingga dapat membantu perkembangan emosi dan intelektual.

          Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional mampu menggali, membangkitkan, dan menciptakan dorongan emosional menjadi dorongan atau motivasi poitif yang akan sanggup merubah rasa malas menjadi rajin, merubah sikap masa bodoh menjadi peduli, menegakkan disiplin diri, mengendalikan marah, menahan hawa nafsu atau keinginan dan mengatasi kesedihan.

          Didalam islam hal-hal yang berhubungn dengan kecakapan emosi seperti konsisten (istiqomah), kerendahan hati (tawadhu’), berusaha berserah diri (tawakal), ketulusan (keikhlasan), totalitas (kaffah), keseimbangan (tawaun), integritas dan penyempurnaan (ihsan). Dinamakan dengan akhlak al karimah. Dalam kecedasan emosional, itulah yang menjadi tolak ukur kecerdasan emosi, seperti integritas, komitmen, konsisten dan totalitas.

          Akhlak al karimah yang menghiasi seorang mampu mengenadalikan seorang dari keinginan-keinginan, yang bersifat negatif dan sebaliknya dapat mengarahkan atau memotivasi seseorang untuk ke arah kebaikan (positif). Untuk menuju kebaikn tersebut tentulah sesuatu hal yang tak mudah, oleh karenanya, perlu usaha sungguh-sungguh untuk mengembangknnya.

          Sedangkan Jalaluddin Rahmat mengemukakan bahwa untuk memperoleh kecerdasan emosional yang tinggi harus dilakukan hal-hal berikut :

a) Musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk;
b) Muraqabah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari;
c) Muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan;
d) Mu’atabah dan mu’aqobah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum, diri sendiri (sebagai hakim sekaligus sebagai terdakwa).

3. Kecerdasan Spiritual
          Menurut Danah Yohar dan Ian Marshall kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value ,yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakannya/jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

          Selanjutnya  menurut Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena allah. 

          Dari kedua definisi di atas terdapat perbedaan orientasi, Danah Yohar dan Ian Marshall berorientasi pada nilai-nilai kehidupan duniawi. Sedangkan menurut Ari Ginanjar berorientasi pada agama. Menurut mereka inti dari kecerdasan spiritual adalah pemahaman tentang kedirian manuia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat kepada Allah wt. Sementara dalam perspektif islam, ma’rifat kepada Allah dinyatakan sebagai  puncaknya pengetahuan . melalui ma’rifat manusia akan mengenal dirinya dan dengan mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya.

          Dalam konteks pendidikan islam tentu pengertian kecerdasan spiritual cenderung pada pengertian kedua tadi dan kecerdasan spiritual itulah yang dikembangkan dalam islam.

4. Kecerdasan Qalbiyah
          Menurut Abdul Mujib, kecerdasan qalbiyah adalah sejumlah kemampuan diri secara cepat dan sempurna, untuk mengenal kalbu, dan aktivitas-aktivitasnya, mengelola dan mengekspresikan jsenis-jsenis kalbu secara benar, memotivasi kalbu untuk membina hubungan moralitas dengan  orang lain dan hubungan ubudiyah dengan tuhan.

          Abdul Mujib menyatakan bahwa pengertian qolbiyah dapat dijabarkan dalam beberapa jsenis kecerdasan qolbiyah sebagai berikut:

1. Kecerdasan inetelektual (intiuitif) , yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah seperti wahyu (untuk para rasul dan nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang shalih)
2. Kecerdasan emoional , yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. 
3. Kecerdasan moral , yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manuia dan alam semesta. 
4. Kecerdasan spiritual, adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang.
5. Kecerdasan beragama, adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. 

          Kecerdasan beragama lebih tingi hierarkinya daripada kecerdasan kalbu yang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan beragama seharusnya telah melampaui kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual (intuitif), karenvs ketiga kecerdasan tersebut merupakan bagian dari kecerdasan beragama.

          Kecerdasan qalbu yang dikembangkan tidak terbatas pada kecerdasan intelektual, emosi, moral dan kecerdasan spiritual namun terdapat kecerdasan yang lebih esensial yaitu kecerdasan beragama atau bertuhan.  Kecerdasan beragama ini yang memberi makna ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang berifat fitrah menuju manuia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.


E. ETIKA PESERTA DIDIK 
          Etika peserta didik merupakan suatu yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung., al ghazali merumuskn ada sebelas kewajiban peserta didik.

1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarub kepada Allah SWT sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela 
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi 
3. Berikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara mseninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Mempriotaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenl nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.




PENUTUP


          Dari pembahasan yang telah kami lakukan maka dapat disimpulkan bahwa peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara  fisik mupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
          Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan itu seperti kebutuhan fisik, sosial, Kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin disayangi, dicintai, mendapatkan status dan kebutuhan mandiri.
         Manusia merupakan makhluk multi dimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi fisik dan rohani. seara rohani, manuia mempunyai potseni kerohanian yang tak terhingga banyaknya.
          Etika peserta didik merupakan suatu yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung.





DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2010
Yusuf Enoch, Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 1992
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002
Blogger
Disqus

No comments