Makalah Pengertian dan Pembagian Hukum - Ushul Fiqh

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
Definisi Hukum Syar’i dalam istilah ushul yaitu , pembicaraan syar’i bersangkut dengan perbuatan mukallaf. Diminta, dipilih, dan ditetapkan, Allah berfirman dalam Al-Qur’an : Tepatilah janji itu. Inilah pembicaraan syar’i yang bersangkutan dengan memenuhi janji.

B. Macam-Macam Hukum
Hukum syar’i di bagi atas dua yaitu: Hukum taklify dan Hukum Wad’i.
 1. Hukum taklifiy
Hukum Taklify yaitu firman allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.

Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi:
a. Ijab 
Yaitu tuntunan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkanya. Orang yang meninggalkanya akan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-nur: 56
وأقيم الصلاة وأتوا الزكاة
Artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat

Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukalaf, maka disebut dengan wujub, sedang perbuatan yang dituntut itu disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab, menurut ulama Ushul Fiqih, terkaiy dengan khitab (tuntunan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khitab Allah.

b. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak untuk meninggalkanya. Orang yang meninggalkanya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-baqarah: 282, Allah SWT berfirman :
ياايها الذين امنوا اذا تدا ينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang dutentukan, hendaklah kamu menuliskanya.

Lafal faktubuhu, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah ( wujub ), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-baqarah : 283)
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن امنته
Artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya. . .

Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb, indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap salinh mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting, tuntutan allah seperti ini disebut nadb.

c. Ibahah 
Yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama, akibat dari khithab Allah ini disebut ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah: 2
واذا حللتم فاصطادوا
Artinya: “apabila kamu selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”

Ayat ini juga menggunakan lafal amr yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasinya yang memalingkan kepada hokum boleh, khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khitab ini juga disebut dengan ibahah, sedang perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.

d. Karahah 
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah, karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya, hdits Nabi Muhammab SAW: 
ابغض الحلال عند الله الطلاب
Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talaq (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)

Khithab hadits ini disebut karahah dan akibatnya dari karahah ini disebut juga dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.

e. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am: 15
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله
Artinya: “jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah”

Khithab ayat ini dosebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ii disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut dengan haram.


 2. Hukum Wadh’i 
Hukum wad’i adalah frman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hokum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat atau penghalang maka ia disebut hokum wad’i. 

Dari pengertian tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hokum wad’i yaitu sebab, syarat dan mani’.

 a. Sebab 
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jlan yang dapat menyampaikan kepada tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. 

 b. Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hokum syara’, tetapi keberadaan hokum syara’ bergantun kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hokum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hokum syara’. Oleh sebab itu, sesuatu hokum taklifi tidak akan ditetapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara. Misalnya, wudhu adalah salah satu syarat sah sholat. Sholat tidak akan dilaksanakan tanpa wudhu, akan tetapi, apabila seseorang berwudhu, ia tidak harus melaksanakan sholat. 

 c. Mani’
Yaitu sifat yang keberadaanya menyebabkan tidak ada hokum atau ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan hubungan kewarisan. Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suamu atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagaian masing-masing. Akana tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut. Perbuatan membunuh ini merupakan mani’ untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Disisi lain,adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas, maka hubungan keturunan atau perkawinan menjadi penghalang dilaksanakanya hukuman qishas.

 d. Shihah
Suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah wudhu (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagaainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakn itu hukumnya sah. 

 e. Bathil
Yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.

 f. ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hambaNya selak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah. Sehingga sejak disyariatkanya seluruh mukalaf wajib mengikutinya. Misalya, jumlah rekaat shalat dhuhur adalah empat rekaat. Jumlah rekaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rekaat shalat dhuhur.hukum tentanh rekaat shalat dhuhur adalh empat rekaat disebut azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur dua rekaat, seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhshah. Dengan demikian, para ahli ushul fiqih mendefinisikan rukhshah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafa fi Ilm Al-Ushul, Berikut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Ushul Al-Fiqh Kairo: Dar Al-Qaalm, 1979
Abdul Mujib, Al-Qowaidu Al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980
Blogger
Disqus

No comments