Makalah Periwayatan Hadits - 'Ulumul Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah sabda Nabi. Mempelajari hadits adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad SAW. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah SWT itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.

Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadits (ulumul hadits). Dalam ulumul hadits, hadits Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadits, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkaitr dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadits dan orang-orang yang meriwayatkannya.

Di sini, melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadits menjadi sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadits, adab atau tata cara periwayatan hadits, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dapat diketahui mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dha’if.

Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadits Nabi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

Dalam proses ini terjadi dua peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul adalah dan cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya. Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syaikh atau gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.

Dalam proses periwayatan ini diketahui bahwa para rawi berbeda-beda keadaannya pada waktu menerima hadits dari gurunya, termasuk dari shahib al-hadits, selain dalam keadaan normal dan baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak, masih kafir, suka maksiat (fasiq), atau sedang dalam keadaan gila, dan sebagainya. 

Kompleksitas periwayatan hadis dan bervariasinya ke-tsiqat-an rawi memungkinkan para rawi meriwayatkan hadis selafazh yang diterima dari gurunya atau mungkin meriwayatkan hadis tidak persis dalam lafazh tetapi makna dasarnya tidak berbeda.

B. Cara-cara Periwayatan Hadits
Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:

 1. As-Sama’
Periwayatan hadits dengan cara as-sama’ yaitu seorang syekh membacakan hadist sedang murid mendengarkannya, sama saja apakah syekh tersebut membaca dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid mendengar dan mencatat apa yang di dengarnya atau mendengar saja dan tidak menulisnya. 

Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang murid menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau pun tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatan bentuk as-sama’. Syaratnya, yang didengar sang murid benar-benar suara gurunya.

Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatrkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir, kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.

Menurut jumhur ulama, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam pweriwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yag dikataka Nabi SAW., kemudian para sahabat saling mencockan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW terseburt.

Kata atau lafadz yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah sami’tu (aku telah mendengar) dan hadatsaniy (telah menceritakan kepadaku). Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafadznya adalah sami’na (kami telah mendengar) dan haddatsana (telah menceritakan kepada kami). Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-sama. 

 2. Al-Qira’ah
Periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah yaitu seorang murid membaca sedang guru mendengarkan, sama saja apakah ia sendiri membaca suatu hadits atau orang lain sedang ia mendengarkannya, dan sama saja baik bacaanya dari hafalan atau dari suatu kitab, begitu pula sama saja guru tersebut mengikuti kepada orang yang membaca hadist dari hafalannya atau ia sendiri menyadarkan kitab atau orang siqoh lainnya.

Dari pengertian di atas diketahui bahwa Al-qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad. Disebut al-arad, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan sang guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau dari buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.

Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan kalimat: qara’tu fulanan (aku telah membaca kepada si fulan), atau qara’tu ‘alaihi (aku telah membaca di hadapannya), atau quri’a ‘ala fulanin wa ana asma’u (dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku mendengarkannya). Namun, yang umum dipakai menurut ahli hadits adalah lafadz akhbarana (telah mengabarkan kepada kami).

 3. Al-Ijazah
Periwayatan hadits dengan cara al-ijazah yaitu perizinan untuk meriwayatkan, baik secara lafdzi maupun berupa kitab. Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafadz yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah “aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkandariku demikian".

Periwayatan ini dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a. Seorang syekh mengijinkan riwayat tertentu untuk seorang tertentu seperti ajaztuka shahih Al- bukhari (aku mengijinkan kepadamu shahih bukhari), macam ini merupakan yang paling tinggi dari macam-macam ijazah yang berasal dari munawalah.
b. Mengijinan kepada seorang tertentu dengan suatu riwayat yang tidak tertentu, seperti ajaztuka riwayaka masmu’ati (aku mengijazahkan kepadamu akan suatu riwayat yang telah aku dengar).
c. Mengijazahan kepada seorang yang tidak tertentu akan suatu riwayat yang tidak tertentu, seperti ajaztu ahla zamani riwayata masmu’ati (aku ijazahkan kepada orang-orang dizamanku akan suatu riwayat yang aku dengar).
d. Mengijazahkan kepada orang yang belum ada: adakalanya berupa orang yang mengikuti orang yang sudah ada, seperti ajaztu l Fulanin wa limanyuladulah (aku mengijahkan kepada si fulan dan kepada orang yang dilahirkan oleh si fulan tersebut) dan adakalanya berupa orang yang belum ada secara bebas, seperti ajaztu limanyuladu li fulanin (aku ijazahkan kepada orang yang dilahirkan oleh si fulan)

Kata-kata yang diupakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah adalah ajaza lifulanin (ia telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijazatan (ia telah memberikan hadsits dengan ijazah kepada kami), akhbarana ijazatan (telah mengabarkan kepada kami dengan cara ijazah), atau anba’ana ijazatan (ia telah memberitakan kepada kami dengan ijazah).

 4. Al-Munawalah
Periwayatan hadits dengan cara al-munawalah adalah seorang guru memberikan naskah yang telah ia koreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.

Periwayatan ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
 a. Dibarengi dengan ijazah: merupakan ijazah yang paling tinggi secara mutlak, diantara bertuknya adalah seorang syekh menyerahkan kitabnya kepada muridnya dan berkata: “ini adalah riwayatku dan fulan maka riwayatkanlah dariku, kemudian mengabadikan kitab tersebuatb untuk dimilikinya atau untuk sebagai pinjaman agar disalinnya.
 b. Terlepas dari ijazah: bentuknya adalah sorang syekh menyerahkan kitabnya kepada muridnya hanya dengan menyatakan secara ringkas ini adalah riwayat yang aku dengar. 
Menurut pendapat yang shahih, adapun yang dibarengi ijazah boleh diriwayatkan dan tingkatanya lebih rendah dari as-sima’ dan al-qiro’ah ala syekh. Sedangkan yang terlepas dari ijazah tidak boleh meriwayatkannya.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: nawalaniy wa ajazaniy (ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku), haddatsana munawalatan wa ijazatan (ia telah menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah), atau akhbarana munawalatan (ia telah mengabarkan kepada kami dengan munawalah).

 5. Al-Mukatabah
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah seorang syaikh menulis riwayat yang didengarnya kepada orang yang hadir atau yang tidak hadir dengan tulisannya sendiri atau dengan perintahnya.

Dapat difahami bahwa model periwayatan hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada di hadapannya ataupun yang tidak hadir.

Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya “seseorang bercerita kepadaku melalui surat”, atau “seseorang telah menulis surat kepadaku”. 

 6. Al-I’lam
Periwayatan hadits dengan cara al-I’lam adalah seorang syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadist ini atau kitab ini merupakan hasil pendengaranya sendiri.

Dapat difahami bahwa pemberitahuan sang guru kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah riwayatnua sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin untuk meriwayatkannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini. Sebagian ulama membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru mrngetahui bahwa di dalam hadits tersebut ada kecacatan, kerenanya sang guru tidak memberi izin untuk meriwayatkannya.

Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini misalnya a’lamaniy syaikhiy bikadza (guruku telah memberitahu kepadaku dengan seperti ini).

 7. Al-Wasiyyah
Periwayatan hadits dengan cara al-wasiyyah adalah model periwayatan hadits dengan cara seseorang guru memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkahn haditsnya, atau dengan memberikan sebuah kitab yang ia miliki.

Menurut Ibnu Sirin, mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan cara wasiat dibolehkan. Akan tetapi, sebagian besar ulama tidak membolehkannya, jika penerima wasiat tidak menerima ijazah dari pewasiat.

Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara al-wasiyyah adalah awsho ilaiyya fulanun bikitabin (si fulan telah meqwasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsaniy fulanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

 8. Al-Wijadah
Yaitu seorang murid mendapatkan beberapa hadits dengan tulisan syaikh yang tidak diriwayatkanya. Atau seorang rawi mendapat tulisan hadits atau kitab dari seorang guru, tetapi ia tidak mengenal sang guru tersebut. Haditsnya pun belum pernah didengar ataupun ditulis oleh si perawi.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat jalur al-wijadah. Kalangan ulama Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan Imam Syafi’i membolehkannya.

Dalam menyampaikan hadits dengan cara al-wijadah, biasanya rawi menggunakan kalimat “aku mendapatkan buku ini daritulisan si filan” atau “aku telah membaca tulisan si fulan".

Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan cara al-wijadah tergolong hadits munqathi’, karena rawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.

C. Syarat-Syarat Seorang Perawi
Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
 1. Beragama Islam.
 2. Baligh.
 3. Berakal.
 4. Tidak fasiq.
 5. Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
 6. Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
 7. Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
 8. Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.

Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perawi haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah.

Dan juga seorang perawi, benar–benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lafadz dan maksudnya, memahami perbedaan–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lafadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.

Sifat-sifat hadits yang diterima:
- Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah SAW.
- Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan.
- Betul-betul hafal.
- Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
- Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.


D. Tahamul Wa Ada’ul-Hadits
1. Pengertian Tahammul Wa Ada’ul-Hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi-seperti diungkapkan oleh al Karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ul al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru. 
Karena tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
• Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
• Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur- Rawi).
• Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).

Sifat adil ketika dibicarakan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, Suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang positif, Atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

2. Syarat-syarat Tahammulul-Hadits
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
 a. Penerima harus dhobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
 b. Berakal sempurna.
 c. Tamyis.

Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.

Beberapa ulama hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, Mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, Sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll. Tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.

3. Syarat-syarat Ada’ul-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:

a. Islam
Pada periwayatan suatu hadits, seorang rawi harus muslim. Menurut ijma’ ulama, periwayatan orang kafir dianggap tidak sah.

b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits walaupun penerimaannya itu sebelum baligh. 

c. Adil
Yang dimaksud dengan ‘adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.
d. Dhabit
Yang dimaksud dengan dhabit adalah teringat/terbangkitnya perawi ketika ia mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya serta dihapalnya sejak ia menerima sampai menyampaikannya.

Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an perawi adalah dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqah dan memberi keyakinan.

Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, ada persyaratan lainnya, yaitu antara satu perawi dengan perawi lainnya harus bersambung, hadits yang disampaikannya itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat serta ayat-ayat Al-Qur’an.  

Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan Al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-Hadist dan Implikasinya Terhadap-Persambungan Sanad

4. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad
A. Metode penerimaan riwayat dan penyampaiannya kembali ada 8 macam, yaitu:
 1. As-sima’min lafdzi syaikh
Maksudnya ialah: Seorang perawi dalam penerimaan hadits dengan cara mendengarkan langsung dari syaikh baik syaikh itu menyampaikan bacaannya berdasarkan hafalan ataupun catatannya. Begitu pula dengan sang perawi, baik perawi itu mendengarkan bacaan syaikh sambil mencatat apa yang di dengarnya, atau hanya mendengar saja dan tidak mencatat.

Menurut pendapat jumhur ulama, cara periwayatan as-sima’ ini merupakan cara yang paling tinggi derajatnya/tingkatannya. Termasuk kategori as-sima’juga, seorang perawi yang mendengar hadits dari syaikh dari balik hijab, jumhur ulama membolehkannya berdasarkan sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, melalui istri Nabi.
Lafadz yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar as-sima’ adalah:
سمعت - سمعنا (aku telah mendengar - kami telah mendengar)
حدثنى - حدثنا (kami/seseorang telah menyampaikan hadits kepadaku)
اخبرنى - اخبرنا (kami/mengabarkan kepadaku seseorang telah)
ﺃﻨﺒﺄﻨﻰ- ﺃﻨﺒﺄﻨﺎ (seseorang telah menceritakan kepadaku/ kami)
ﻗﺎﻝ ﻠﻰ- ﻗﺎﻝ ﻠﻨﺎ (kami/seseorang telah berkata kepadak)
ﺫﻜﺭﻠﻰ- ﺫﻜﺭﻠﻨﺎ (kami/seseorang telah menuturkan kepadaku)

 2. Al-Qira’ah  ‘ala syaikh/di sebut juga dengan istilah ‘ardhan (ﻋﺭﻀﺎ)
Maksudnya ialah seorang perawi membacakan hadits, dan syaikh mendengarkan, baik yang membaca itu sang perawi ataupun orang lain.

Riwayat hadits yang dibacakannya itu, boleh berasal dari catatannya atau dari hafalannya, sedangkan syaikh menyimak dan mendengarkan dengan teliti melalui hafalannya atau melalui catatannya.

Adapun hukum periwayatannya, periwayatan melalui jalan pembacaan kepada syaikhnya merupakan riwayat yang shahih dan dalam menentukan terdapat:
 a. Sederajat dengan as-sima’: diriwayatkan dari Malik dan Bukhari dan sebagian besar ulama Hijjaz dan Kuffah.
 b. Lebih rendah dari as-sima’: diriwayatkan dari jalur penduduk Masyriq dan itu adalah shahih.
 c. Lebih tinggi dari as-sima’: diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Dzi’bi dan riwayatnya dari Malik.
Lafadz-lafadz hadits menurut metode ini ialah:
ﻗﺭﺃﺕ ﻋﻠﻴﻪ
(aku telah membacakan di hadapannya)
ﻗﺭﺉ ﻋﻠﻰ ﻓﻼﻥ ﻭﺃﻨﺎ ﺍﺴﻤﻊ
(dibacakan oleh seseorang dihadapannya sedang aku mendengarkan)
ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺍﻭ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﻘﺭﺍﺀﺓ ﻋﻠﻴﻪ
(telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan dihadapannya)

 3. Al- Ijazah
Maksudnya ialah: Izin untuk meriwayatkan baik dengn ucapan maupun dengan catatan, yakni seorang guru memberikan catatannya kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya, baik melalui lisan maupun tulisan  
Dari segi bentuk ijazah ialah, syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya (aku izinkan kamu untuk meriwayatkan Sahih Bukhari). Adapun dari segi bentuknya ialah:
 a. Syeikh mengizinkan riwayat hadits tertentu kepada orang tertentu, seperti:
ﺃﺠﺯﺕ ﻟﻙ ﺭﻭﻴﺔ ﺍﻠﻜﺘﺎﺏ ﺍﻠﻔﻼﻨﻰ ﻋﻨﻰ
(Syaikh mengijinkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya.)
 b. Syaikh mengijinkan orang tertentu bagi riwayat yang tidak di tentukan, seperti:
ﺃﺠﺯﺕ ﻠﻙ ﺠﻤﻴﻊ ﻤﺴﻤﻭﻋﺎ ﺍﻭ ﻤﺭﻭﻴﺎﺘﻰ
(kuijinkan kepadamu: seluruh yang saya dengar/yang saya riwayatkan)
 c. Syaikh mengijinkan bukan orang tertentu bagi riwayat yang tidak ditentukan, seperti:
ﺃﺠﺯﺕ ﻠﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻥ ﺠﻤﻴﻊ ﻤﺴﻤﻭﻋﺎﻨﻰ
(kuijinkan kepadamu seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya).
Lafadz-lafadz penyampaiannya ialah:
ﺃﺠﺎﺯﻠﻲ ﻓﻼﻥ
(seseorang telah memberikan kepadaku untuk meriwayatkan hadits)
ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺇﺠﺎﺯﺓ
(telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin (untuk meriwayatkan kembali)
ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﺇﺠﺎﺯﺓ
(“telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah”). Kode ini sering dipakai oleh ulama hadits generasi akhir atau mutaakhirin

 4. Munawalah
Maksudnya ialah: seorang syaikh memberikan naskahnya kepada seseorang disertai ijazah atau memberikan naskah terbatas pada hadits-hadits yang pernah didengarnya sekalipun tanpa ijazah.

Jadi, hadits yang diperoleh dengan metode munawalah yang disertai ijazah dengan ijazah, boleh untuk diriwayatkan sedang yang tanpa ijazah tidak diperbolehkan (menurut pendapat yang shahih).

Dan lafadz-lafadz yang digunakan pada metode munawalah ini adalah:
ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ
(seseorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku)
ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ ﻭﺇﺠﺎﺯﻨﻲ
 (seorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku dengan disertai ijazah)
ﺤﺩﺜﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ-
(telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ ﺇﺠﺎﺯﺓ
(telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah disertai ijazah)

 5. Al-kitabah atau al-mukatabah
Maksudnya ialah: seorang muhaddits menuliskan hadits yang diriwayatkan untuk diberitakan kepada orang tertentu, baik ia menulis sendiri atau dituliskan orang lain atas permintaannya.

Karenanya, bagi orang diberi hadits ketika itu, boleh saja ditulis dihadapan guru tersebut atau berada di tempat lain, sehingga periwayatan dengan metode ini ada 2 macam yaitu:
 -Mukatabah (korespondensi) dengan tidak disertai ijazah
 -Mukatabah yang disertai ijazah dan pada umumnya para ulama, baik mutaqoddimin maupun mutaakhirin membolehkan kedua macam mukatabah tersebut.
Adapun lafadz-lafadz yang digunakan adalah:
ﻜﺘﺏ ﺍﻠﻲ ﻓﻼﻥ
(seorang guru hadits telah menulis sebuah hadits kepadaku).
ﺤﺩﺜﻨﻲ ﻓﻼﻥ ﻜﺘﺎﺒﺔ   
(telah menyampaikan riwayat kepadaku melalui koresponden)
ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ ﻓﻼﻥ ﻜﺘﺎﺒﺔ   
(telah menyampaikan kabar berita kepadaku melalui koresponden)

 6. Al-I’lam as-syaikh
Bentuknya ialah seorang syeikh memberitahukan muridnya bahwa hadits yang diriwayatkan adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari gurunya, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkan.

Dalam hal ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa metode ini di anggap sah, sekalipun sebagian kecil menganggapnya tidak sah
Lafadz-lafadz yang dipakai adalah:
      ﺃﻋﻠﻤﻨﻲ ﺸﻴﺨﻲ ﺒﻜﺫﺍ (guru hadits telah memberitahukan sebuah riwayat hadits)

 7. Al-Washiyah
Maksudnya ialah: Seorang syaikh ketika akan meninggal dunia atau bepergian, memberi wasiat sebuah naskah hadits yang diriwayatkannya kepada seseorang.

Cara ini sebagaimana pendapat yang benar, tidak diperbolehkan, sebab wasiat syaikh kepada muridnya itu hanyalah berupa naskah bukan pada masalah periwayatannya.

Lafadz-lafadz yang di gunakan adalah:
ﺍﻭﺼﻲﺍﻠﻲ ﻓﻼﻥ ﺒﻜﺫﺍ
(seseorang guru hadits telah memberi wasiat kepadaku sebuah naskah haditsnya)
ﺤﺩﺜﻨﻲ ﻓﻼﻥ ﻭﺼﻴﺔ
(telah menuturkan kepadaku si fulan secara wasiat)

 8. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode/semasa, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak.

Dalam hal ini, ulama mengkategorikan hadits-hadits yang diperoleh dengan cara demikian sebagai hadits munqathi’ (terputus) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada indikasi bersambung.

Lafadz-lafadz yang digunakan adalah:
ﻭﺠﺩﺕ ﺒﺨﻁ ﻓﻼﻥ (aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits)
ﻗﺭﺃﺕ ﺒﺨﻁ ﻓﻼﻥﻜﺫ (aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).

 Lafadz-lafadz untuk Meriwayatkan Hadits
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadits itu dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu:

 1. Lafadz meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadz-lafadz itu tersusun sebagai berikut:
سمعت - سمعنا (aku telah mendengar - kami telah mendengar)
حدثنى - حدثنا (kami/seseorang telah menyampaikan hadits kepadaku)
اخبرنى - اخبرنا (kami/mengabarkan kepadaku seseorang telah)
ﺃﻨﺒﺄﻨﻰ- ﺃﻨﺒﺄﻨﺎ  (seseorang telah menceritakan kepadaku/ kami)
ﻗﺎﻝ ﻠﻰ- ﻗﺎﻝ ﻠﻨﺎ (kami/seseorang telah berkata kepadak)
ﺫﻜﺭﻠﻰ- ﺫﻜﺭﻠﻨﺎ (kami/seseorang telah menuturkan kepadaku)

 2. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri, yaitu:
 ﺭﻭﻯ (diriwayatkan oleh)
 ﺤﻜﻰ (dihikayatkan oleh)
 ﻋﻥ (dari)
 ﺃﻥ (bahwasanya)


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis.
Khaeruman, Badri. Ulum al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain
Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press,
Ma’shum Zein, Muhammad.MA, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, Jakarta, 2007
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadits, Malang: UIN-Malang Press. 2010, 
Blogger
Disqus

No comments