Makalah SPI Pendidikan Pada Masa Penjajahan Jepang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jepang menjajah
Indonesia setelah mengusir pemerintah hindia belanda dalam perang dunia ke II.
Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan Asia Timur
Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru. Jepang menjajah Indonesia hanya seumur
jagung yaitu selama tiga tahun dari tahun 1942-1945. Namun, walaupun dalam
waktu yang sangat singkat tersebut penjajahan jepang di Indonesia banyak
memberikan perubahan baik dari segi sosial masyarakat maupun bangsa termasuk
didalamnya aspek pendidikan islam. Pada babak pertamanya pemerintah jepang
menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan islam yang merupakan suatu
siasat untuk kepentingan perang dunia ke II.
Kedatangan
jepang ke indonesia agak berbeda dengan kedatangan belanda sebagaimana
dikemukakan diatas. Jika kedatangan belanda yang semula bertujuan dagang yang
selanjutnya diikuti dengan tujuan politik dan keagamaan, maka kedatangan jepang
lebih cenderung untuk tujuan politik, yaitu mendapatkan dukungan pasokan sumber
daya manusia (tentara) dan logistik yang mereka perlu untuk kemenangan perang
Asia Timur Raya.
Sejarah
mencatat bahwa pada saat jepang datang keIndonesia, keadaan dunia sedang berada
dalam suasana perang Dunia II yang didasarkan pada motif perluasan wilayah dan
penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi. Walaupun dengan peran dan fungsi
yang berbeda-beda,. Pada saat perang dunia II keadaan negara terbagi kedalam
Blok Barat dan Blok Timur.
Indonesia
sebagai negara yang berada di wilayah Timur yang sebelumnya dijajah oleh
belanda, bahkan juga pernah dikuasai oleh Inggris dan Portugis, berada dalam
posisi yang diperebutkan oleh negara-negara tersebut. peperangan antara para
pejuang Nusantara dan tentara Belanda kerap terjadi, dan pada saat itulah
jepang datang dengan menawarkan solusi terbaik, yang memberikan bantuan dan
menjanjikan sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Jepang mencoba menarik
simpatik bangsa Indonesia dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara lain
pendekatan kewilayahan dan kebudayaan. Jauh sebelum jepang datang ke Indonesia,
mereka telah mempelajari karakteristik ajaran islam yang dianut masyarakat
Indonesia secara umum dengan cara mengadakan festival tentang islam di Tokyo.
Sejak
pertengahan tahun 1920-an, lembaga-lembaga yang berbakti kepada studi Islam dan
majalah yang membahas masalah Islam muncul di jepang.
Pada tahun
1935, masjid pertama didirikan di Kobe, dan disusul lagi tahun 1938 oleh sebuah
tempat ibadah yang lebih mengesankan di ibu kota. Selain itu, Perserikatan
Islam Jepang (Dai Nippon Kaikyo Kyokai) dibentuk pada bulan mei 1938, dengan
jenderal Senjuro Hayashi sebagai bapak islam jepang, sebagai presidennya. Pada
bulan September 1939, organisasi baru ini secara resmi mulai mengadakan
aktivitasnya yang pertama dengan mengundang orang-orang islam luar negeri untuk
menghadiri pameran islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 November 1939.
Dengan cara
tersebut jepang ingin menunjukkan secara diplomatis bahwa jepang punya
perhatian yang besar terhadap Islam, sehingga memudahkan untuk masuk ke
Indonesia. Selain itu, jepang juga menganggap Indonesia sebagai saudara Tua di Asia Timur Raya. Pendekatan ini tampak cukup efektif, sehingga
ketika jepang datang ke Indonesia, walaupun diwarnai dengan kecurigaan dan
tanda tanya, ternyata diterima oleh bangsa Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian masalah diatas maka ada beberapa masalah yang dirumuskan oleh penyusun,
yaitu:
1.
Bagaimana pendidikan dimasa penjajahan jepang ?
2.
Apa saja kebijakan pemerintah jepang terhadap bangsa
indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan
rumusan masalah yang telah dituliskan, maka tujuan penulisan makalah ini antara
lain:
1.
Mahasiswa mampu mengetahui keadaan pendidikan disaat
penjajahan jepang
2.
Mahasiswa mampu mengetahui kebijakan pemerintahan
jepang terhadap bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan Pemerintah Jepang
Sejalan dengan
pendekatan persuasif, akomodatif dan kultural yang diterapkan, pemerintahan
jepang mengeluarkan sejumlah kebijakan ang dinilai menguntungkan dan
menyenangkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya, dan bagi umat islam khususnya.
Kebijakan ini antara lain sebagai berikut:
1.
Jepang mendirikan shumubu (kantor urusan agama tingkat
provinsi/kanwil agama), dan shumuka (kantor urusan agama tingkat
pusat/Departeman Agama). Dengan berdirinya kedua Kantor urusan agama tersebut,
jepang ingin menunjukkan kepada umat islam bahwa jepang selain memberikan
perhatian dan kebebasan bagi uat islam untuk melaksanakan ajaran islam, juga
untuk mengatur dan mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Keadaan ini menjadi daya tarik, kesukaan dan kepercayaan umat islam
terhadap pemerintahan jepang.
2.
Jepang mendirikan Majelis Ta’lim A’la Indonesia (MAIA) sebagai
pengganti Majelis Syuro Islam di Indonesia (Masyumi) yang ada sebelumnya, yaitu
sebagai federasi yang berfungsi sebagai tempat bagi umat islam untuk
menyampaikan gagasan, pemikiran, dan aspirasi politiknya.
3.
Jepang memberikan kesadaran kepada elite politik islam untuk
mengambil peran dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia dengan mendirikan
Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Melalui wadah tersebut, bangsa
Indonesia yakin bahwa jpang datang ke Indonesia bukan untuk menjajah, melainkan
untuk membantu bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya.
4.
Jepang memperkenalkan kepada umat islam tentang cara berorganisasi
dan menggunakan senjata yang modern melalui pembentukan kesatuan tentara Hizbullah
(tentara Allah), dan tentaran Pembela Tanah Air (PETA).
5.
Jepang memperkenalkan kebijakan pendidikan yang demokratis,
egaliter, dan adil. Kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif dalam
bidang pendidikan.
Dengan
mengemukakan berbagai kebijakan, Jepang selain telah memberikan kenangan manis,
juga telah memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat islam untuk
memperjuangkan hak-hak politik dan hak-hak sosialnya. Dengan berbagai kebijakan
tersebut benar-benar telah berhasil menerapkan sebuah strategi yang tepat untuk
merangkul dan meminta dukungan bangsa Indonesia.
Namun demikian,
keadaan tersebut ternyata hanya sebuah taktik dan tipuan belaka. Jepang mulai
menunjukkan sifat penjajah dan fasisnya kepada bangsa Indonesia. Sebagai akibat
kekalahan bertubi-tubi dalam peperangan dengan tentara sekutu, Jepang amat
membutuhkan dukungan sumber daya manusia dan logistik untuk keperluan
perangnya. Jepang mulai menuntut rakyat Indonesia menyatakan kepatuhan kepada
pemerintah Jepang antara lain dengan menghormati kaisar Jepang, dengan
menyembah matahari sebagai lambang Kaisar Jepang.
B.
Keadaan Pendidikan Islam di Zaman Jepang
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa kehadiran Jepang
di Indonesia terhitung singkat, yakni hanya 3,5 tahun. Namun waktu yang singkat
ini tidak berarti bahwa Jepang tidak memberi pengaruh terhadap perkembangan
pendidikan Islam.
Jepang dalam waktu singkat telah memberikan pengaruh pendidikan
islam, sebagai berikut:
1.
Umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikannya,
karena berbagai undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah Belanda yang
sangat diskriminatif dan membatasi itu sudah tidak diberlakukan lagi. Umat
Islam pada zaman kolonial Jepang memperoleh peluang yang memungkinkan dapat
berkiprah lebih leluasa dalam bidang pendidikan.
2.
Bahwa sistem pendidikan Islam yang terdapat pada zaman Jepang pada
dasarnya masih sama dengan sistem pendidikan Islam pada zaman Belanda, yakni
disamping sistem pendidikan pesantren yang didirikan kaum ulama tradisional,
juga terdapat sistem pendidikan klasikal sebagaimana yang terlihat pada
masdrasah, yaitu sistem pendidikan Belanda yang muatannya terdapat pelajaran
Agama.
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian
dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China,
Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di
bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke
berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran
Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun
menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi
besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat,
Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer
dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya
menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak
itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi
sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
(Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah
Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun
bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan.
Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3
tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3
tahun.
3. Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan
menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki
Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan
setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh
pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca
ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang
pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi
pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang
menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka
mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.
Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada
indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan
dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang
diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya .
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman
pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam
latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi
Hakko Ichiu
2. Nippon Seisyin, yaitu
latihan kemiliteran dan semangat Jepang.
3. Bahasa, sejarah dan
adat-istiadat Jepang.
4. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis.
5. Olaharaga dan nyanyian
Jepang.
Sementara untuk
pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin
melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1. Menyanyikan lagu
kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi.
2. Mengibarkan bendera
Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi.
3. Setiap pagi mereka juga
harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya.
4. Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang.
5. Melakukan latihan-latihan
fisik dan militer.
6. Menjadikan bahasa Indonesia
sebagai pengantar dalam pendidikan, bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga
wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya
sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga
memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah
koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses
resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa
China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku
berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran.
Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan
sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta
harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa
misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara
Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan
dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain:
1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische
Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang
dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka.
2. Pondok pesantren sering
mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
3. Mengizinkan pembentukan
barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda
Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.
5. Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan
menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6. Diizinkannya Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua
ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang
memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini
membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya
kemerdekaan.