Makalah Tokoh-Tokoh Ilmu Balaghah

Makalah Tokoh-Tokoh Ilmu Balaghah

E. Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah
Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah.

Berikut tokoh-tokoh balaghah yang berpengaruh dalam pengembangan ilmu balaghah:
1. Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna
Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin al-Mutsanna merupakan seorang sastrawan dan ulama dalam bidang bahasa arab yang berasal dari basra. Dia lahir pada tahun 110 H dan wafat pada tahun 209 H. Ia merupakan salah satu murid Imam Khalilyang notabene pakar bahasa arab. Abu Ubaidah merupakan tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu bayan dengan kitabnya Majaz al-Quran..

2. al-Jahizh
al-Jahiz merupakan seorang sastrawan arab yang telah memiliki karya-karya dalam bidang literatur arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi mu’tazilah, dan polemik-polemik politik religi .Beliau wafat pada tahun 255 H. beliau pengarang kita al-Bayan wa at-Tabyin.

3. Abdullah bin Mu’taz
Abdullah bin Mu’taz merupakan khalifah dikekhalifahan abbasiah. Beliau betul-betul mendalami dan menekuni dunia sastra, kemudian menyusun kitab yang bernama al-Badi’. Beliau wafat pada tahun 296 H.

4. Qudamah bin Ja’far
Qudamah bin Ja’far al-Katib al-Baghdadi merupakan seorang sarjana arab dan administrator untuk kekhalifahan Abbasiyah. Ketika diawal bekerja nya beliau seorang nasroni, kemudian masuk islam ketika masa khalifah al-Muktafi dan pada masanya beliau terkenal memperdalam tentang filsafat dan logika. Dalam ilmu balaghah beliau menyusun sebuah risalah yang bernama naqdu qudamah. Kitab ini merupakan kelanjutan dari karangan khalifah Ibnu Mu’taz sekaligus menyempurnakan istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Beliau wafat pada tahun 337 H.

5. Abu Hilal al-Askary
Abu Hilal Hasan bin Abdullah al-Askary merupakan seorang sastrawan dan penyair berbangsa arab serta salah seorang diantara pakar ilmu balaghah. Beliau mempunyai lebih dari 10 buah karangan dan beliau juga mengarang kitab as-shina’ataini dalam bentuk prosa dan sastra.

6. Abdul Qohir al-Jurjani
Abu Bakar Abdul Qohir bin Abdul Rahman bin Muhammad al-Jurjani lahir pada tahun 377 H dan wafat pada tahun 471 H atau 474 H. Beliau terkenal dalam ilmu balaghah dan ilmu bayan, yang penjelasannya tertuang dalam kitabnya yang bernama Asror al-Balaghah dan Dalail al-Ijaz.

7. Imam Zamakhsyari
Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi (Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggan di kota Mekkah itulah dia menulis Al-Kasysyaf ‘An Haqa’iqit Tanzil Wa ‘Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Ta’wil. Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah khawarizem setelah kembali dari makkah. Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya. Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

8. as-Sakaky
Abu Ya’qub Yusuf bin Muhammad bin Ali as-Sakaky atau dikenal dengan nama as-Sakaky dilahirkan di khawarizm pada tahun 555 H dan wafat pada tahun 626 H. beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu balaghah disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul Ulum.

Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu balâghah, yaitu:
1. Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2. Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3. Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat masyhur.
4. Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5. Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6. Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof; sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7. Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8. Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9. Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10. Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12. Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.
13. Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14. Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia wafat pada tahun 208 H.
15. Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H. Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16. Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat di sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20. Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin Ali as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya tidak pintar, sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406 H.
21. Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22. Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad.
23. Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24. Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H. 


Halaman Sebelumnya
Makalah Sejarah Ilmu Balaghah
Makalah Perkembangan Ilmu Balaghah 


III. PENUTUP

Balaghah dalam sudut pandang ini terbagi menjadi dua fase sebagaimana yang dikatakan oleh Tamam Hasan. Fase pertama sebagai fase kritik sastra yang lebih mengedepankan eksplorasi keindahan sastra dan pengasahan bakat sastra. Sementara yang kedua sebagai disiplin ilmu yang telah memiliki kharakter dan standar sebagai sebuah ilmu, yaitu Objektif, komprehensif, terpadu, dan ekonomis. 
Dan tampaknya kajianbalaghah yang terbentuk dalam fase yang kedua ini masih sangat dominan hingga saat ini, dan berdampak pada kekeringan cita rasa dan jauh dari keindahana yang semestinya dirasakan oleh para pemelajar balaghah. 
Mungkin salah satu sebab yang menjadikan balagah ala madzhab kalamiyah ini begitu laku dan diminati banyak orang adalah pertama karena memang pada zaman tersebut ilmu filsafat sedang menjadi primadona atau sinden yang sangat difavoritkan oleh masyarakata atau para pelajar. Yang kedua, karena standar fashahah atau balaghah dalam madzhab ini jelas dan mudah dihafal, sedangkan tabiat manusia selalu lebih suka yang jelas-jelas dan mudah diingat atau dihafal. Sementara balaghah dan fashahah ala madzhab ahlu al-bulagha lebih banyak menghukumi pada dzauq, cita rasa keindahan bahasa dalam jiwa orang Arab. 
Seandainya saja kedua sisi balaghah ini bisa dipadukan antara yang teratur dan mudah dipahami tapi juga tidak sampai mengeringkan balaghah dari eksplorasi dan apresiasi keindahan teks sastra, maka balaghah akan menjadi ilmu atau pembahasan yang menarik bagi para pemelajar bahasa Arab, tidak seperti sekarang ini dimana balaghah kerap menjadi ilmu yang kurang diminati karena terkesan sulit dan adanya gap (jarak) yang sangat jauh antara teori dan kemampuan untuk bereksplorasi.
Kita tidak mampu mengenal tokoh-tokoh besar dalam bidang yang hidup berabad-abad sebelum kita kecuali hanya melalui karyanya. Hal serupa yang pemakalah rasakan dalam mempelajari perihal tokoh-tokoh balaghah ini, kalau bukan dari karya yang diwariskan oleh para pendahulu kita, maka kita tidak akan mengenalnya.
Demikian makalah yang Saya sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Obyek  kajian ilmu balâghah merupakan tiga serangkai retorika bahasa arab yang saling melengkapi. Ilmu Ma’ani merupakan kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi dan kondisi. Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran, Ilmu Bayan mengajak pembaca berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style sastra yang kemudian disempurnakan irama dan maknanya oleh Ilmu Badi’.
Demikianlah pemaparan singkat tentang obyek kajian ilmu balâghah, menurut penulis, ilmu sastra-termasuk didalamnya ilmu balâghah-, merupakan sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa sastra) menjadi sebuah teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang statis akan tetapi merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang harus hidup dan berkembang. Semoga anugrah nalar dan lisan mampu jadi pelita penertian, pemahaman dan pencerahan.


Daftar Pustaka

Al-Askary, Abu Hilal, kitab as-shina’atain, al-Maktabah al-Unshuriyah, Beirut 1419 H.
Al-Jahidz, al-Bayan wa at-tabyin, DaarwaMaktabah al-Hilal, Beirut 1423 H.
Al-Jurjany, dalail al-i’jaz, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah, Cet. II 1992.
Al-Jurjany, asrar al-balaghah, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah.
Al-Juwainy, Musthafa, manhaj Zamakhsyary fi tafsir al-Qur’an, cet. II, Daar al-ma’aarif.
Al-maraghi, Ulum al-Balaghah, Maktabah Syamilah versi 3.39, www.shamela.ws
Ar-Rummany, Tsalatsu rosail fi i’jazil al-Qur’an, Daar al-Ma’arif.
Hasan, Abdurrahman Hanbakah. 1996. Al-Balaghah Al-‘Arabiyah Ususuhaa wa ‘Ulumuhaa wa Fununuhaa. Damaskus: Dar Al-Qalam.
Hasan, Tammam. 2000. Al-UshulDirasahefistimulujiyyah li Al-FikrAlLughawy ‘inda Al-‘Arab, Kairo: ‘Alam Al-Kutub.
Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001.
Banna’, Haddam. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press
Al-Balâghah:  fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. .
Ghufran, Muhammad. Al-Balâghah: fi Ilmi al- Badi’. Ponorogo:Darussalam Press.
Hasyimi, Ahmad. Jawâhir al-Balâghah.Beirut : Dâr al-Fikri. 1994. hlm. 28-30.
Jarim, ‘Ali dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004.
Sakkâki, Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut : Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987.
Verhaar, J.W.M.. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. cet. III. 2001.
Wahbah, Majdi dan Kamil Muhandis. Mu’jam al-Musthalahât al-’Arabiyyah fi al-
Dief, Syauqi, al-Balaghah Tathawwur wa Tarikh, Kairo: Darul Ma’arif, Tth.
Zaenuddin, Mamat, Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
http://finarga.blogspot.com/2010/08/nama-biografi-singkah-tokoh-islam.html
http://islami90.blogspot.com/2011/07/biografi-az-zamakhsyari-by.html
http://id.wikipedia.org/wiki/
Makalah Perkembangan Ilmu Balaghah

Makalah Perkembangan Ilmu Balaghah

C. Perkembangan Ilmu Balaghah
a. Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi
Secara historis istilah balaghah muncul belakangan. Sebelum ilmu ini dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Ilmu yang membahas tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

b. Fase kritik sastra
Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu seperti yang kita ketahui saat ini, balaghah telah melalui sejarah yang cukup panjang untuk sampai pada titik yang kita pelajari saat ini. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase. Pada fase yang pertama, balaghah bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedang pada fase kedua, balaghah menjadi lebih mirip dengan uslubiyat atau stylistic.  Atau juga bisa disebut dengan Madrasah Adabiyah (Madzhab sastra) dan Madrasah kalamiyah (Madzhab ilmu kalam). Sedangkan al-Imam as-Suyuthi menamainya dengan ‘thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa ahlu al-falsafah’. 
Fase atau madzhab pertama adalah fase pertama kali lahirnya pembahasan balaghah, sebagaimana yang telah penulis singgung pada mukaddimah bahwa munculnya pembahasan balaghah adalah respon dari persoalan bagaimana mengetahui rahasia kemukjizatan al-Qur`an dan bagaimana agar seseorang dapat mengapresiasi nilai-nilai keindahan bahasa al-Qur`an. 
Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya lahir bukan di tangan para ulama Nahwu, akan tetapi lahir di tangan para ulama bahasa. Pada awalnya, pembahasan balaghah ini hanya bermuara pada penelitian untuk mengidentifikasi mana komunitas atau kabilah yang fushaha` (ahli fashahah) dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat memilah antara komunitas yang fushaha`dan kelompok yang tidak dianggap fushaha`, mereka mulai mencatat atau meriwayatkan warisan sastra dari komunitas ahli fashahah tersebut dan menolak untuk meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka. Alasan mengapa sebuah kabilah atau komunitas dianggap tidak fushaha` adalah adanya percampuran mereka dengan A’ajim (kaum non Arab) yang dengan itu disinyalir bahwa bahasa Arab mereka sudah banyak terpengaruhi dengan lahn (kesalahan berbahasa) kaum non Arab, atau dengan kata lain kemurnian dzauq‘Arabiy mereka sudah tidak murni lagi.  
Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab “majaz al-Qur`an” dan dengan karya al-Jahidz yaitu “al-Bayan wa at-tabyin” dan “I’jaz al-Qur`an”. Al-jahidz dalam kitab “al-bayan wa at-tabyin” telah memakai istilah balaghah dan bayan. Akan tetapi kedua istilah yang digunakan oleh jahidz tersebut belum mempunyai definisi yang jelas, dalam arti definisi yang dapat mencakup seluruh satuannya (Jami’) dan memisahkannya dari satuan yang tidak sejenis dengannya (Mani’). Al-jahidz hanya memaknai balaghah sebagaimana dimaknai oleh al-‘Ataby bahwa balaghah adalah kemampuan untuk memahamkan seseorang apa yang kita inginkan tanpa menggunakan alat lain selain bahasa. Dan begitu juga istilah bayan, al-jahidz belum menjelaskan definisinya dengan gamblang. 
Kemudian Abdul Qahir al-Jurjani muncul pada Abad ke 5 H dengan dua karyanya yang fenomenal yaitu Asrar al-Balaghah dan dalail al-i’jaz. Abdul Qahir menemukan teori tentang kalam nafsy (perkataan di dalam hati/akal yang tidak atau belum diucapkan).Pada gilirannya, teori ini menuntunnya kepada teori bagaimana menyusun konsepatau makna dalam nafs (hati/akal), lalu setelah itu ia tertuntut untuk menjelaskan proses produksi kalam atau perkataan. Sehingga pada akhirnya al-Jurjany sampai pada sebuah hasil, yaitu kerangka atau bingkai pemikiran yang terdiri dari empat unsur: an-Nadzam (susunan), al-bina` (bangunan), at-tartib (urutan), dan at-ta’liq (kaitan).
Dalam dalail al-i’jaz, al-Jurjany berpendapat bahwa kata tidaklah diciptakan untuk memberikan makna dengan sendirinya, akan tetapi antara kata-kata ituharus bergambung dan tersusun sehingga dapat memberikan sebuah arti atau informasi yang dapat dimengerti . Dan dalam asrar al-balaghah, ia mengungkapkan bahwa yang terpenting bagi seseorang (penutur bahasa) adalah ia harus sampai pada ungkapan yang jelas, isyarat yang benar, pembagian yang tepat, susunan struktur yang bagus, cara tasybih dan tamsil yang inovatif dan kreatif, ungkapan yang umum lalu berpindah pada yang lebih detail, menyambung dan memisahkan pada tempatnya yang benar, dan menggunakan hadzaf, ta’kid, taqdim, ta`khir dengan memenuhi syarat-syaratnya. 
Dalam taraf ini, al-Jurjany telah membahas pembahasan yang tidak dibahas oleh ulama  Nahwu atau Ulama lughah, yaitu pembahasan yang dilandaskan pada perasaan dan cita rasa keindahan yang terikat dengan aturan formal yang longgar dan tidak sampai pada tataran kaidah seperti yang ada pada disiplin ilmu nahwu. 
Itulah buah pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany, dan peraktik ril dari pemikiran tersebut dituangkan oleh seorang tokoh abad ke 6 H, yaitu Zamakhsyari dalam tafsirnya, “al-Kassyaf”, sebuah karya yang mengeksplorasi teks al-Qur`an dengan kritis serta mejelaskan keindahan dan keagungannya.
Pandangan al-Jahid, Ibnu Mu’taz, dan Abdul Qahir al-Jurjany tentang balaghah ini adalah pandangan yang benar-benar masuk dalam ranah cita rasa dan bermuara seputar ushul (prinsip-prinsip dasar) tanpa harus mengekanganya dengan kaidah-kaidah yang sempit, memberikan ruang yang luas untuk ekplorasi bakat dan menikmati keindahan sastra yang jauh dari ikatan kaidah. 
Jenis balaghah inilah yang kita sebut dengan balaghah sebagai ilmu pengetahuan, bukan disiplin ilmu, balaghah yang lebih mengfokuskan pada eksplorasi dan praktik ketimbang berkutat seputar teori dan kaidah-kaidah.  

c. Fase Uslubiyyat (stylistic)
Pada masa yang sama, dimana balaghah sebagai ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang, muncul juga pembahasan balaghah di kalangan ulama yang lain dengan orientasi yang berbeda. Yaitu pada abad ke 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam kritik sastra dan karyanya tersebut dinamaikan dengan “Naqd Qudamah”. Dalam kitabnya itu, ia melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis. Pembagian yang ia lakukan itu masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang datang setelahnya menyempurnakan pembagian itu dengan  membuatkan kaidah dan aturan. Qudamah berkeinginan untuk membuat sebuah kerangka bangunan yang abstrak yang memiliki klasifikasi dan memiliki definisi-definisi yang sangat menyerupai klasifikasi dalam ilmu nahwu. Menurutnya, syair terdiri dari empat unsur: lafadz, wazan, qafiyah, dan ma’na, karena ia mendefinisikan syair dengan “perkataan yang berwazan dan berqafiyah yang menjelaskan suatu makna”.
Setelahya datanglah Abu Hilal al-‘Askary, pemilik kitab “as-shina’atain”. Ia membahas seputar fashahah dan balaghah seperti pembahasan iijaz, hasywu, ithnab, dan tathwil, dan dalam kitabnya itu ia telah mengumpulkan 35 jenis badi’. Abu Hilal adalah orang yang sangat menguasai sastra, maka dari itu dapat menyajikan banyak syawahid dalam bukunya tersebut, tetapi dalam hal klasifikasi dan definisinya ia masih mengikuti metode Qudamah bin Ja’far, ia sekedar berlaku sebagai seorang pakar yang telah memiliki standar-standar untuk ia kiaskan.
Selain itu, muncul juga seorang ulama lain yang sangat cerdas yaitu Fakhruddin ar-Razi yang memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan Balaghah sebagai sebuah ilmu atau bisa juga disebut madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam/filssfat). Ar-razy mengarang sebuah karya dalam kajian balaghah yaitu “Nihayatul ijaz fi dirayatil i’jaz”. 
Karya Abu Hilal dan karya Fakhruddin ar-Razy, kedua mengillhami dan sekaligus memberikan mukaddimah bagi as-Sakaky yang hidup pada akhir abad ke 6 dan awal abad ke 7 H. Sebenarnya as-Sakaky bukanlah seorang sastrawan,dan bukan orang yang memiliki cita rasa yang tinggi dalam mengapresiasi dan meresapi keindahan sebuah karya sastra. Meskipun tidak bisa diragukan lagi bahwa ia adalah seorang ilmuan atau ulama dalam bidang bahasa Arab, nahwu, sastra, ‘arud, syair,kalam, dan fikih. Dalam kitabnya, “Miftah al-ulum”, ia membahas tiga ilmu secara berurut dari sharf, nahwu, kemudian balaghah dengan tiga pembagiannya, ma’any, bayan, dan badi’.
Budaya intelektual as-Sakaky sebagai seorang ilmuan sangat mempengaruhi gayanya dalam mengeksplorasi kajian balaghah. Ia tampak berlebihan dalam merancang definisi-definisi dan kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah itu sendiri sangat jauh dari makna penghayatan cita rasa dan kritik teks. Dengan adanya definisi dan kaidah-kaidah tersebut balaghah secara teori sangat mudah dikuasai akan tetapi sangat jauh dari malakah (semangat inovasi dan eksplorasi bakat).

d. Fase kejumudan ilmu Balaghah
Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai syarah dan ringkasan seputar kitab “miftahul ulum” karya as-Sakaky. Para penulis ilmu balaghah setelahnya tidak memberikan sumbangsih hal yang baru dalam ilmu balaghah, semuanya hanya mengikuti metode dan pembagian as-Sakaky saja, penambahan dan pengurahan hanya berkutat pada contoh-contoh, penjelasan, dan penyederhanaan. 
Manhajilmu al-Balaghah yang diusung oleh as-Sakaky memang sangat memudahkan untuk dimengerti dan diingat sehingga ia banyak diikuti oleh orang-orang  setelahnya, dan bahkan menjadi imam besar bagi disiplin ilmu ini. Kitabnya “miftah al-ulum”benar-benarbanyak sekali dibahas oleh orang-orang setelahnya hingga kitabnya itu banyak disyarah dan juga diringkas. Ia sendiri meringkas kitabnya itu dengan mengeluarkan kitab baru yang bernama “at-tibyan”, kemudian ibnu Malik juga meringkasnya dalam kitab “al-mishbah” dan al-Qazwaini juga melakukan hal yang sama dalam kitabnya “talkhish al-miftah” dan “Syarh al-idlah”. Kitab “mifath al-ulum” beserta syarhdan  talkhishnya yang dilakukan oleh Quzwaini benar-benar laku dan mendulang banyak perhatian di pasaran sehingga banyak sekali ulama yang kembali mengulas matan dan syarahnya, sebut saja dalam hal ini Sa’ad at-taftajany dan Sayyid al-Jurjany yang juga membuat syarah bagi kitab tersebut. Bahkan setelah itu, tidak sedikit dari kitab-kitab syarah yang bermunculan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa asing (non Arab).
Akhirnya, pada fase ini para pemelajar balaghah asik tenggelam dalam kaidah-kaidah, dan balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mencapai tadzwwuq atau mengapresiasi keindahan sastra, meski kini balaghah menjadi pembahasan yang penting dalam ranah yang saat ini dikenal dalam istilah linguistik modern dengan uslubiyat atau stylistics. 

D. Obyek kajian Ilmu Balaghah
1. ‘ILMU AL-MA’ÂNI
‘Ilmu Ma’âni adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan pola kalimat berbahasa Arab agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘ilmu al-ma’âni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur yang disampaikan kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai pencetus Ilmu Bayan adalah ‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H) .
Dari terminologi ‘ilmu al-ma’âni yang ingin menyelaraskan antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada pola-pola kalimat berbahasa arab dilihat dari pernyataan makna dasar—ashly, bukan tab’iy— yang dikehendaki oleh penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model ma’âni bukan pada struktur kalimat itu sendiri, akan tetapi terdapat pada “makna” yang terkandung dalam sebuah tuturan. Jadi yang terpenting dalam pembacaan ma’ani adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.

Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut, (1) Kalâm Khabar (2) Kalâm Insya’ (3) al-Qasr (4) Îjaz, Ithnab dan Musâwah.
1. Kalâm Khabar (statement sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak sesuai dengan fakta . Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;
Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:
إني فقير إلى عفو ربي
Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh:
إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh;
إني وضعتها أنثى
Dilihat dari sisi susunan gramatikalnya kalâm khabar dibagi kedalam dua bentuk :
Pertama: al-jumlah al-fi’liyyah (verbal sentence), menunjukkan suatu pekerjaan yang  temporal, dengan tiga keterangan waktu, sekarang, yang telah berlalu dan yang akan datang. Contoh:
أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا
Kedua: al-jumlah al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum (general thuth). Contoh:
الأرض متحركة والشمس مشرقة

2. Kalâm Insya’(originative sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur . Kalâm insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.
a. Insya’ thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi kedalam lima macam, yaitu :
 1) Al-`amr
Al-`amr adalah meminta terlaksananya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya, al-`amr dalam bahasa Arab memiliki empat bentuk, yaitu :
a) Fi’il `amr, contoh:
يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا ( مريم:12)
b) Fi’il mudhâri’ yang bersambung dengan lâm al-`amr, contoh:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ (الطلاق: 7)
c) Ism fi’il al-`amr, contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ { المائدة:105}
d) Mashdar sebagai ganti fi’il `amr, contoh:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا { البقرة: 83}

Selain model pola kalimat al-`amr juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a) Al-du’a` (do’a), contoh:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ { النمل: 19}
b) Al-Irsyâd (petuah bijak), contoh:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ (البقرة: 282)
c) Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {فصلت:40}
d) Al-Ta`jîz (melemahkkan), contoh:
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)
e) Al-Ibâhah (pembolehan), contoh:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة:187)

 2) Al-Nahy
Al-nahy adalah meminta dihentikannya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan menyambungkan fi’il mudhâri’ dengan lâ nâhiyah ( berarti: jangan..!) contoh:
وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ( الأعرف: 85)
Seperti halnya amr, struktur nahy juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a) Al-du’â`(berfungsi sebagai do’a), contoh:
رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (ال عمران:
b) Al-Irsyâd ( memberi petuah bijak), contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ… (المائدة: 101)
c) Al-Dawâm (keabadian), contoh:
وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ اْلأَبْصَارُ (إبراهيم:42)
d) Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
لا تطع أمري ايها الأخ..
e) Al-Tamannî (pengharapan), contoh:
يا ليل طلٍِ يا نوم زل  * يا صبح قف لا تطلع

 3) al-Istifhâm
Al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan adât al-istifhâm (kata sandang untuk istifhâm), yaitu: hamzah, hal, man, mâ, matâ, ayyâna, kayfa, aina, kam dan ayyu . Dilihat dari segi bentuk permintaannya, istifhâm dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a) Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi dan kadang meminta afirmasi (tashawwur). Adât yang digunakan adalah hamzah, contoh:
1) أ علي مسافر أم خالد؟ 2)    أ علي مسافر؟
b) Pertanyaan yang meminta afirmasi saja, adât al-istifhâm yang digunakan adalah hal.contoh:
هل يعقل الحيوان؟
c) Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja. Adât yang digunakan adalah semua adât al-istifhâm kecuali hal dan hamzah.contoh:
يسئلونك عن الساعة أيان مرسها؟
 4) al-Tamannî
Al-Tamannî adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang  tidak mampu digapai .
a) Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:
ألا ليت الشباب يعود يوما * فأخبره بما فعل المشيب
b) Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak mampu teraih, contoh:
يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)
Al-Tamannî memiliki satu `adât ashly yakni ليت dan mempunyai tiga `adât yang tidak ashly sebagai penggantinya, yaitu:
a) Hal (apakah, adakah, akankah…), contoh:
فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشْفَعُوا لَنَآ أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنهُم مَّاكَانُوا يَفْتَرُونَ (الأعراف:53)
b) Lau (jika, sekiranya..), contoh:
فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (الشعراء: 102)
c) La’alla( niscaya…), contoh:
أ سرب القطا هل من يعير جناحه * لعلي إلى من قد هويت أطير

 5) al-Nidâ’
al-Nidâ’ adalah meminta kedatangan sesorang atau sesuatu  dengan kata ganti yang bermakna “aku memanggil”. Ada delapan kata sandang dalam istifhâm, yaitu: hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan wâ. Hamzah dan aiy berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan `adât yang lain untuk sesuatu yang jauh dari pemanggil . Contoh:
أيا جميع الدنيا لغير بلاغة  * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت
Selain berfungsi memanggil, al-nidâ’ memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam arti nidâ’ antara lain:
a) Al-Ighrâ` (bujukan, anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah musuhnya:
يا شجاع أقدم..
b) Al-Zijr (hardikan, cacian), contoh:
يا فؤدي متى المتاب ألما *  تصح والشيب فوق رأس ألما
c) Al-Tahassur wa al-taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:
وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)
d) Al-Istighâtsah (permintaan pertolongan), contoh:
يا ألله…. حبي وهوائي مكتوم إليها
e) Al-Nudbah (ratapan/elegi), contoh:
فواعجبا كم يدعي الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل

b. Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’ . Contoh:
a) al-Madh wa al-Dzam,menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh:
نعم الكريم حائم….  وبئس البخيل مادر
b) Shiyaghu al-’Uqûd. kebanyakan menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh:
بعتك هذا ووهبتك ذاك
c) al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh:
لعمرك ما فعلت كذا
d) al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh:
كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)
e) al-Raja’, biasanya menggunakan, ‘asâ, hariyyu (la’alla) dan ikhlaulaqa, contoh:
عسى الله أن يأتي بالفتح

3. Al-Qashr (rhetorical restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah al-maqsûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah al-maqsûr ‘alaihi (yang dikhususkan) . Metodologi pembentukan qashr ada empat macam yaitu:
a) Al-nafyu wa al-istitsnâ`, contoh:
ما شوقي إلا شاعر وما شوقي إلا شاعر
b) Innamâ, contoh:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)
c) Mendahulukan kata yang seharusnya berada diakhir, contoh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)
d) Athaf dengan lâ, bal dan lakin, contoh:
عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني

Qashr dilihat dari eksistensinya ada dua macam:
Pertama: Qashr Haqîqy yaitu pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar dari itu. Contoh,  لا إله إلا الله
Kedua: Qashr idhôfi yaitu pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada diluar ujaran. Contoh:
إنما حسن شجاع

4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah (equality)
a. Îjaz adalah adanya makna yang luas dibalik kalimat yang pendek.  Îjaz ada dua macam, ada kalanya Qashr (meringkas) dan ada kalanya Hadf (membuang) . Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)
وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)
b. Ithnab adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و الروح فيها
c. Musâwah adalah kalimat dimana kata-katanya sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang.
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  *  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

5. Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu , contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)


2. ILMU AL-BAYÂN
Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi, Ilmu Bayân berarti  dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut .
Berangkat dari pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam metode untuk menyampaikan makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang merupakan metode penyampaian makna. Obyek kajian ilmu Bayan meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz, dan (3) Kinâyah.
1. al-Tasybîh(comparison) 
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman, tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata-sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat. Tasybîh mempunyai beberapa variabel, diantaranya: Musyabbah, Musyabbah bih -keduanya disebut sebagai dua titik pokok tasybih-, Adâtu al-Tasybîh dan Wajhu al-Syibhi . Dari beberapa variabel ini kemudian memunculkan beberapa macam tasybih, yaitu:
a. Tasybih Mursal, yaitu tasybih yang disebutkan adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب
b. Tasybih Muakkad, yaitu tasybih yang dibuang adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا
c. Tasybih Mujmal, yaitu tasybih yang dihilangkan wajah sibhi-nya., contoh:
كأنهن بيض مكنون
d. Tasybih Baligh, yaitu tasybih yang tidak ada adat dan wajah shibhi-nya, contoh:
ركبوا الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة  أنجم

2. Al-Majâz(allegory)
Majâz secara etimologi terbentuk dari kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual) .
Majâz ada dua macam, yaitu:
a. Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual) .Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.
 1) Isti’ârah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam :
a) Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah: adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
b) Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها *   ألفيت كل تميمة لا تنفع

Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada dua macam, yaitu:
a) Isti’ârah Ashliyyah : yaitu isti’ârah yang mana kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم: 1)
b) Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71)

Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi tiga macam:
a. Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
b. Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
c) Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27)

 2) Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya :
a) As-Sababiyyah , contoh:
له أياد علي سابغة  *  أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
b) Al-Musabbabiyyah, contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
c)  Al-Kulliyah, contoh:
يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
d) Al-Juz`iyyah, contoh:
فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
e) I’tibâr mâ kâna, contoh:
وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
f) I’tibâr mâ yakûnu, contoh:
إني أرني أعصر خمرا  (الآية)
g) Al-Hâliyah, contoh :
واسأل القرية التى كنا فيها (الآية)
h) Al-Mahalliyah, contoh:
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)

b. Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual) . Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:
1) Hubungan sebab akibat,  contoh:
وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
2) Hubungan waktu, contoh:
يوما يجعل الولدان شيبا
3) Hubungan tempat, contoh:
وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم
3. Al-Kinâyah(metonymy) 
Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu  yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.
Kinâyah dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Berkedudukan sebagai sifat,contoh:
قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير الرماد إذا ما شتا
b) Berkedudukan sebagai mausûf, contoh:
الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان
c) Berkedudukan sebagai nisbat, contoh:
إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج


3. ILMU AL-BADÎ’
Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi, Ilmu Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika, beberapa pepaês—ornamen perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi .
Secara gais besar ilmu badî’ mempunyai dua obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).
1. al-Muhassanât al-Lafdziyyah
a. al-Jinâs (paronomasia;pun),
Jinâs adalah adanya kesamaan dua kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada dua macam jinâs, yaitu :
1) Jinâs tâm : adanya kesamaan antara dua kata dari jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ {الروم: 55}
2) Jinas ghairu tâm: adanya perbedaan antara dua kata dalam satu macam diantara keempat macam persyaratan tersebut (syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)
b. al-Saj’(rhimed prose)
Saj’ dalam terminologi balâghiyyin berarti adanya dua kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama, kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap kalimat disebut dengan faqrah : Ada tiga macam saj’, yaitu:
1. Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu dua kalimat atau lebih yang wazan fashilah-nya berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا   وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
2. Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu dua kalimat atau lebih yang mana lafadz pada setiap faqrah-nya memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
3. Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah dua faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya, contoh:
فِيهَا سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ   وَأَكْوَابُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)
c. al-Tarshî’(homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam faqrah pertama (syathrah pertama) dengan faqrah sesudahnya dalam wazan dan qafiyah-nya . Adakalanya sama persis dalam wazan dan a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ  وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ ( الانفطار:13-14)
Dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya, contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)
d. al-Tasythir (internal rhyme)
Tasytîr adalah ketika pembagian penyair terhadap shadr dan ‘ajuz syair masing-masing menjadi dua bagian, dan antara shadr dan ‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh :
كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم

2. al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah
a. al-Tauriyah(paronomasia;pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai dua makna, pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua, makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki. Contoh:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
b. al-Thibâq (antithesis)
Tibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada dua macam tibâq , yaitu:
1) Tibâq al-Ijab, yaitu tibâq yang mana kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan  dan menegatifkan saja, contoh:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
2) Tibaq al-Salbi, yaitu tibâq yang hanya memeperlawankan kata negatif dan positifnya saja.
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة:44)
c. al-Muqâbalah (antithesis)
Muqâbalah adalah membuat susunan dua makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara berurutan. Contoh:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى  وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى  وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (الليل:5-10).
d. Husnu al-Ta’lil (conceit)
Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan . Contoh:
ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم.
e. Uslûb al-Hakîm(deliberate equivocation).
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak berbicara menjawab  sesuatu dan tidak sesuai dengan yang diharapkan orang yang bertanya. Dengan cara, keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.  contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة: 189)
Selain dari beberapa macam muhassinât al-ma’nawiyyah di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.

Halaman Sebelumnya "Makalah Sejarah Ilmu Balaghah"

Makalah Sejarah Ilmu Balaghah

Makalah Sejarah Ilmu Balaghah

Sejarah Ilmu Balaghah


I. Pendahuluan
Kedudukan al-Qur`an sebagai mukjizat Nabi kaum Muslimin sekaligus landasan dan pedoman hidup bagi mereka menjadikan al-Qur`an seperti permata yang sangat mahal dan berharga bagi setiap kaum Muslimin, atau bahkan lebih dari itu.
Tingginya kedudukan al-Qur`an tersebut, itulah yang menjadi faktor pendorong mengapa kaumMuslimin sangat peduli dan memperhatikan al-Qur`an. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa al-Qur`an, dengan tujuan agar anak cucu mereka, generasi-generasi Muslim selanjutnya, dapat memahami bahasa al-Qur`an dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya mereka menyusun ilmu Nahwu (dan sharaf) sebagai alat yang membantu mereka untuk membaca al-Qur`an dengan baik, dan membuat ilmu fiqhlughah untuk menerangkan ke-arab-an kata-katanya dan kefashihan teksnya.  
Meskibahasa al-Qur`an adalah bahasa Arab, yaitu bahasa yang sama yang digunakan oleh bangsa Arab saat itu, akan tetapi bahasa al-Qur`an -karena rahasia tertentu- kualitas sastranya tidak sama dengan bahasa Arab biasa yang digunakanoleh bangsa Arab pada umumnya atau bahkan oleh para ahli sastranya sekalipun. Bahasa al-Qur`an jauh lebih tinggi kualitas dan keindahannya tidak bisa disamai atau ditiru oleh manusia manapun. Meskipun pada masa itu bangsa Arab adalah bangsa yang dikenal dengan ahlul Fashahah, bangsa yang sangat kental dengan budaya bersyair, bersajak, dan berorasi yang kesemuanya mengandalkan kefashihan bahasa dan lisan. 
Inilah yang disebut i’jaz dalam al-Qur’an. I’jaz yang dari sisi bahasa berarti melemahkan atau membuat orang tidak mampu. Dalam hal ini bisa diartikan bahwa i’jaz adalah sebuah kelebihan yang dimiliki oleh al-Qur’an yang tidak bisa ditandingi dengan karya lain atau bahkan ditirupun tidak bisa.
Kemudian yang menjadi persoalan, apakah yang menjadi rahasia i’jaz atau kemukjizatan al-Qur`an yang membuat seluruh manusia tidak mampu untuk membuat karya semisalnya? 
Persoalan inilah yang mendorong para ulama saat itu untuk mengkaji lebih jauh kandungan al-Qur’an dan memaksa mereka untuk menemukan alat atau ilmu lain untuk menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur`an ini.Meningat bahwa ilmu bahasa atau ilmu al-Qur’an yang sudah ada pada saat itu, yaitu Nahwusharafdan fiqh lughah,kedua alat itu saja tidak cukup menjawab persoalan ini, mengingat bahwa nahwu ranahnya hanyalah pembahasan seputar bangunan kata dan harakatnya, sedang fikihlughah hanya berkutat pada pembahasan mufradatdari sisi makna dan kearabannya, sementara kemukjizatan al-Qur`an terletak ada nashnya (teks).


II. Pembahasan
A. Soal I’Jaz al-Qur’ansebagai cikal bakal ilmu Balagah
Sejak al-Qur’an turun, al-Qur’an benar-benar menjadi pusat perhatian para ulama Arab. Sehinga dari al-Qur’an muncul berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, nahwu sharaf, naqad dan sebagainya. Terlebih lagi setelah Islam menyebar dan meluas ke wilayah-wilayah bangsa lain yang memiliki bahasa dan tradisi keilmuan yang beragam seperti persia, dan beberapa wilayah bekas jajahan Romawi. Seiring dengan pergesekan antara budaya dan tradisi keilmuan ini, muncullah berbagai persoalan dan tantangan pada kaum Muslimin seputar masalah-masalah keislaman atau tentang al-Qur’an itu sendiri. Salah satu persoalan yang muncul saat itu adalah sebuah persoalan yang dilontarkan oleh para pemeluk Islam baru yang menanyakan tentang kemukjizatan al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki sifat i’jaz tidak lain karena al-Qur’an menggunakan uslub penyampaian bahasa yang berbeda dengan uslub Arab atau dengan kata lain al-Qur’an itu bukan bahasa Arab secara uslub meski bahasa Arab secara kosakata. Persoalan semacam ini menggelitik ulama sekaliber Abu Ubaidah (W 207 H) untuk mengarang kitab “Majaz al-Qur’an” yang menjelaskan cara-cara atau uslub penyampaian al-Qur’an bahwa uslub yang dipakai al-Qur’an adalah uslub-uslub yang dipakai oleh orang-orang Arab itu sendiri dengan menghadirkan bukti berupa syair dan sajak yang diriwayatkan dari para pujangga Arab yang ternama.
Setelah persoalan ini terjawab, kembalilah persoalan yang pertama. Jika bahasa al-Qur’an menggunakan uslub yang sama dengan apa yang digunakan oleh bansa Arab, lantas dimanakah letak i’jaz al-Qur’an itu? 
Persoalan ini benar-benar menarik perhatian para Ulama sehingga mereka berpikir keras dan mengadakan banyak diskusi dan perdebatan seputar persoalan ini. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur`an tidak lain karena kehendak dan kekuasaan Allah yang menghalangi atau melemahkan manusia untuk membuat karya yang serupa dengan al-Qur`an, atau dengan kata lain kemukjizatan al-Qur`an tidak terletak pada al-Qur`an itu sendiri akan tetapi kemukjizatannya adalah hasil rekayasa Allah yang melemahkan manusia untuk membuat karya seperti al-Qur`an. Pendapat ini biasa dikenal dengan istilah “as-sharfah”.
Sebagian lagi mengatakan bahwa i’jaz itu ada karena al-Qur’an memberikan informasi-informasi tentang kejadian di masa yang mendatang kemudian informasi-informasi itu benar-benar terjadi. Dan manusia tidak mungkin bisa membuat kitab yang seperti itu.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa i’jaz tersebut disebabkan karena al-Qur’an mengandung syariat yang kekal yang cocok dan relevan digunakan manusia hingga akhir zaman. 
Sementara sebagian besar ulama yang teliti berusaha mengembalikan kemukjizatan itu pada ke-balaghah-an atau gaya bahasa yang memukau yang ada dalam al-Qur’an, dimana setiap kata dalam al-Qur’an tampak sangat sempurna berada di tempatnya dan memiliki pengaruh pada diri pembaca dan menyentuh hati. Akan tetapi pada awalnya mereka hanya mengataka itu, tanpa menjelaskan sebab ke-balaghah-an bahasa Qur’an tersebut. Sehinga mereka mengatakan, “kebalaghan Qur’an adalah sesuatu yang bisa diketahui tanpa bisa di identifikasi mengapa, bisa dirasa tapi tidak bisa dideskrpsikan.” 
Akan tetapi, sebagian ulama belum merasa puas dengan hanya menyandarkan i’jaz Qur’an pada keputusan dzauq semata. Mereka memandang perlu adanya penjelasan yang lebih detail dan lebih gamblang. Dari situ, mereka terus meneliti dan mencari sebab dan rahasia kebalaghan al-Qur’an, sehingga mereka gencar meneliti dan mengupas uslub-uslub al-Qur’an.
Dalam hal ini tercatat beberapa ulama telah mengarang kitab dengan tema “Ma’aany al-Qur’an” seperti, Wasil bin Atha, al-Kasa’iy, al-Akhfasy, Ru’asy, Yunus bin Habib, Qathraba an-Nahwy, al-Farra, Abu Ubaidah, Al-Mubarrid, Ibnu al-Anbary, dan az-Zajjaj. Penelitian dan kajian ini merupakan faktor terbesar yang mendorong lahirnya ilmu balaghah. 
Kemudian, al-Jahidz (W 355 H) mengarang kitab “Nazham al-Qur’an”. Meskipun kitab ini tidak sampai kepada kita, akan tetapi para ulama banyak memuji karyanya yang satu ini. Tidak bisa diketahui secara pasti apa saja yang ditulis oleh al-Jahidz dalam kita “Nazham al-Qur’an”, akan tetapi setidaknya kita dapat membaca dalam risalah-risalah-nya yang sampai kepada kita bahwa al-Jahidz berpendapat bahwa al-Qur’an kemukjizatannya terletak pada nazhamnya.  Meski juga ada yang mengatakan bahwa al-Jahidz berpendapat ‘Sharfah’ dalam hal i’jaz al-Qur’an, akan tetapi menurut Abdul Qadir Husain bahwa ‘Sharfah’ yang dimaksud al-Jahidz adalah bahwa para ahli balaghah Arab berusaha sekuat tenaga untuk membuat karya yang menyamai al-Qur’an tapi kemudian mereka berutus asa, lalu mereka pergi meninggalkan upaya mereka tersebut. 
Ibnu Qutaibah (W 276 H) -salah seorang ulama besar dan ternama di zamannya- juga mengarang kita “Ta’wil fi musykil al-Qur’an”, beliau mengarang kitab ini untuk menerangkan uslub-uslub yang sulit dipahami dari al-Qur’an yang sering dijadikan tuduhan bahwa nazham al-Qur’an tidak rapih atau tidak bagus.
Setelahnya datang al-Baqilaany (W 403) dengan kitabnya “I’jaz al-Qur’an”, selain menjelaskan tentang kemukjizatan al-Qur’an, ia juga menolak pendapat ulama yang datang sebelumnya, yaitu ar-Rummaany, yang berpendapat bahwa kebalaghaan itu juga bisa dimiliki oleh satu tasybih atau jenis badi’ yang lainnya. Menurutnya al-Baqillaany kebalaghan atau kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada nazham-nya. 
Demikian lah persoalan i’jaz ini membuat sibuk para ulama, sampai seorang Abu Hilal al-Askary mengarang kitabnya “as-Shina’atain”. Dalam kitab ini juga ia menegaskan bahwa letak i’jaz al-Qur’an terletak pada nazhamnya. Samapi pada abad 5 H muncullah Abdul Qahir al-Jurjany dengan dua karyafenomenalnya yaitu kitab “Dalaail al-i’jaz” dan kitab “Asrar al-Balaghah”. Al-Jurjany dalam kitabnya menegaskan bahwa kata-kata tidaklah memberikan makna dengan keberadaan dirinya sendiri akan tetapi sebuah makna itu muncul ketika kata-kata itu bersanding satu sama lain membuat sebuah struktur kalimat atau uslub.
Singkat kata, Jawaban para ahli lughah terhadap persoalan di atas adalah cikal bakal munculnya kajian Balaghah yang ditandai oleh muculnya karya Abu Ubaidah dan al-Jahidz yang kemudian digenapkan oleh karya dan pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany. 
Oleh karena itu kita menemukan para ulama balaghah merumuskan tujuan dari ilmu balaghah sebagai berikut:
الْوُقُوفُ عَلَى أَسْرَارِ الْبَلَاغَةِ فِي مَنْثُورِ الْكَلَامِ وَمَنْظُوْمِهِ فَنَحْتَذِيَ حَذْوَهُمَا
“Mengetahui rahasia-rahasia balaghah dalam natsr dan syair sehingga kita bisa mencontoh keduanya.” 
مَعْرِفَةُ وَجْهِ إِعْجَازِ الْقُرآنِ مِنْ جِهَةِ مَا خَصَّهُ اللهُ مِنْ حُسْنِ التَّأْلِيْفِ، وَبَرَاعَةِ التَّرْكِيْبِ، وَمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنْ عُذُوبَةٍ وَجَزَالَةٍ، وَسُهُوْلَةٍ وَسَلَامَةٍ. 
“Mengetahui letak kemukjizatan al-Qur`an yang memiliki kelebihan susunan yang bagus, struktur yang indah, sejuk dan renyah, mudah dan murni.” 

B. Asal Usul Nama Balaghah
Bangsa Arab adalah ahlul Fashahah, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh banyak orang. Mayoritas bangsa Arab kala itu benar-benar sangat memperhatikan dan melestarikan budaya sastra, baik syair, prosa, atau orasinya. Sehingga sudah menjadi biasa bagi bangsa Arab kala itu, jika seseorang melantunkan syair di berbagai macam tempat, tidak hanya di sanggar atau pasar sastra, atau acara-acara besar, tapi bahkan pada kejadian-kejadian kecil seperti saat kaki salah seorang tersandung batu, atau sekedar menyendiri mengingat masa lalu, mencurahkan kegalauan, bahkan sampai sekedar berdialog satu sama lain baik dalam keadaan marah ataupun senang, mereka kerap bersyair atau mengungkapkan kata-kata bersajak untuk mengungkapkan ide dan isi hati mereka. Jika dalam hal atau kejadian kecil saja mereka kerap bersyair atau melantunkan syair, maka apatah lagi dalam acara-acara yang bersifat formal atau besar. 
Ini paling tidak memberikan gambaran bahwa betapa kentalnya budaya sastra pada bangsa Arab kala itu. Sehingga bagi mereka, salah satu faktor atau kelebihan yang dapat mendongkrak prestise seseorang adalah kemahirannya dalam mengolah kata atau bersastra. Sehingga sangat bangga sekali jika seorang Arab kala itu dijuluki sebagai orang yang Fashih atau Baligh. Maka tidak heran jika seorang Umar bin Khattab yang secara nasab tidak lebih mulia dari tokoh-tokoh Quraisy yang lain, akan tetapi karena kefashihannya, di masa Jahiliyyah, ia dijadikan sebagai duta kabilah Quraisy. 
Maka jauh sebelum Balaghah muncul sebagai ilmu atau pengetahuan, kata balaghah telah dikenal dan akrab di telinga bangsa Arab. Para Ulama klasik atau bangsa Arab secara umum sebelum abad 4 H. acap kali menganggap bahwa balaghah adalah sinonim fashahah, fashahah adalah balaghah dan balaghah adalah fashahah. Keduanya memiliki makna yang sama. bahkan dalam kitab “as-Shihah” karya al-Jauhary dikatakan secara tegas bahwa balaghah adalah fashahah, dan pada saat mereka berbicara tentang fashahah serta syarat-syaratnya, maka yang mereka maksud adalah balaghah. Ini tidak lain karena secara bahasa arti dari kedua kata itu hampir sama. Balaghah bersalah dari بَلَغَ yang berarti sampai, dan الإِبْلَاغُ مَا فِي النَّفْسِ (menyampaikan isi hati) sama artinya dengan الإِفْصَاحُ (yang akar katanya sama dengan fashahah, berasal dari فَصَحَ) yang berarti “menerangkan atau menjelaskan”. Dalam hal ini Abu Hilal al-Askary mengatakan, “Fashahah dan balaghah berujung pada satu makna, meski keduanya berasal dari akar kata yang berbeda, karena keduanya bermakna menerangkan suatu makna dan menjelaskannya.” Dan sebelumnya ia menjelaskan bahwa mengapa balaghah itu disebut balaghah (sampai), karena ia (balaghah) menyampaikan makna ke dalam hati pendengar sehingga pendengar itu mengerti makna tersebut.   Bahkan jauh lebih ekstrim dari itu, al-Jahidz mendeskripsikan makna balaghah dengan perkataannya, “Tidaklah suatu perkataan pantas disebut balaghah kecuali jika makna dari perkataan tersebut bisa mendahului kata-katanya, jangan sampai kata-katanya lebih dahulu menyentuh telinga sebelum maknanya sampai ke dalam hati.”

Adapun Ulama balaghah yang mutaakhir mendefinisikan balaghah dengan:
مُطَابَقَةُ الْكَلَامِ مُقْتَضَى حَالِ مَنْ يُخَاطَبُ بِهِ مَعَ فَصَاحَةِ مُفْرَدَاتِهِ وَجُمْلَتِهِ. 
“Kesesuaian kalam dengan kondisi orang  yang diajak berbicara disertai dengan kefashihan kata-kata dan kalimatnya.” 
Jadi dalam pengertian ulama modern, fashahah tidak sama dengan balaghah, akan tetapi hanya bagian dari padanya, sebagai salah satu dari syarat kebalaghahan sebuah kalam. 
Sesuai pengertiannya,balaghah tidak bisa dipisahkan dari bahasa, bahkan dalam hal ini fungsi balaghah sama dengan fungsi bahasa, yaitu sebagai alat atau sarana menyampaikan sebuah makna, atau balaghah bisa diartikan sebagai pelengkap dari bahasa untuk membantu bahasa agar tujuannya lebih mudah tercapai.

Halaman Selanjutnya "Makalah Perkembangan Ilmu Balaghah"
Makalah Tokoh-Tokoh Ilmu Balaghah "Klik Disini"
Makalah Sejarah Ilmu Al-Mu'jam Wa Shina'at Al-Mu'jam

Makalah Sejarah Ilmu Al-Mu'jam Wa Shina'at Al-Mu'jam

BAB I
PENDAHULUAN

Para pakar bahasa mengerahkan upaya besar dalam mengumpulkan materi linguistik, dimana mereka menerima dari sumber yang terpercaya dan sebagian besar materi yang diambil dari Alquran, disini bangsa Arab menghadapi masalah dalam memahami kata-kata Alquran, dari sinilah awal mula berdirinya ilmu leksikografi. Bisa dikatakan bahwa leksikografi dimulai pada abad kedua, dan perintis pertamanya Khalil bin Ahmed al-Farahidi, dan kemudian lahirlah setelahnya penerus yang  berupaya utk mereversifikasi ilmu leksikografi sehingga tidak lama kemudian terbentuklah ilmu leksikogrfi sendiri, dan diatur batasan yang memisahkannya dari ilmu-ilmu lain, akan tetapi tidak ada perkembangan, baru Pada abad keenam Zamakhshari mengembangkan jenis kamus yang berbeda, "urutan yang berbeda" Perkembangan ini bertahan sampai suatu periode stagnasi, tetapi bangsa Arab peka dan segera membangun dan berupaya terus untuk menghasilkan karya yang tidak kalah pentingnya dengan karya-karya sebelumnya bahkan lebih Terorganisir dan mudah. 
Para penulis berusaha untuk menjadikan karya mereka karya yang bisa dinikmati banyak orang, dan kamus sebagai salah satu alat pendidikan didasarkan pada dua pilar utama: pendekatan dan definisi bahan yang menjadi dasar inti penelitian ini adalah berdasarkan penelitian lama dan baru, dimana definisi ini dipandang sebagai salah satu pilar yang sangat penting.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Latar Belakang Historis
Bahasa biasanya melewati tahap pelafalan sebelum tahap kodifikasi, yaitu pada mulanya hanya dalam bahasa penutur, tidak tercatat dalam buku, dan berapa banyak bahasa yang hidup, tumbuh dan kemudian menghilang sebelum manusia mengetahui tentang penulisan. Sebelum mengenal budaya tulis-menulis seperti sekarang ini, pada awalnya bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi hanya ada dalam bentuk lisan.
Selain sebagai alat berkomunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai alat berfikir atau media nalar bagi pemakai bahasa itu sendiri. Perkembangan sebuah bahasa mengikuti perkembangan pemikiran para pengguna bahasa. Sedang manusia, ia tidak akan mampu menghafal dan mengembangkan seluruh kata dari bahasanya sekalipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Oleh sebab itu, terkadang seseorang tidak mampu mengingat sebuah kata atau kesulitan untuk menyebut kosakata yang sesuai dengan yang ia inginkan. 
Bahasa Arab adalah bahasa yang kaya dengan kosakata, kosakata dalam bahasa Arab merangkum semua bidang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kepada kata-kata yang dikodifikasi di dalam kamus-kamus Arab. Dalam bahasa Arab, pembentukan satu kata bisa menunjuk ke beberapa makna. Dikarenakan masalah tersebut yang muncul, kehadiran kamus menjadi sebuah keharusan dalam sebuah bahasa untuk mengembangkan makna, menghimpun kata, melestarikan bahasa, dan mewariskan peradaban yang dapat dikembangkan. Atas dasar itulah manusia menyadari pentingnya bahasa tulis sebagai sarana untuk mengkodifikasi bahasa mereka. Leksikologi yang merupakan ilmu untuk mengetahui makna kata memiliki usia yang sama dengan bahasa yang dilayaninya.
Sebelum era Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab terutama umat Islam, belum banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus bahasa Arab. Bagaimana kosakata bahasa Arab dikumpulkan oleh bangsa Arab kuno dalam komposisi leksikon Arab meskipun mereka tidak tahu leksikografi sebelum era Abbasiyah, bahkan mereka terlambat dalam kodifikasi bahasa mereka senidiri dibandingkan negara-negara lain seperti Asiria dan Yunani. 
Bangsa Arab tidak mengetahui leksikografi sebelum era Abbasiyah karena beberapa alasan, yang paling penting adalah:
1. Mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta huruf) 
2. Bangsa Arab memiliki tradisi nomadisme dan perang 
3. Orang-orang bangsa Arab lebih senang berbahasa lisan daripada tulisan.
Karena alasan-alasan inilah bangsa Arab ketinggalan dalam pengembangan leksikon dibandingkan bangsa bangsa kuno lainya yang lebih dulu mendirikan peradaban di hadapan mereka.Akan tetapi walaupun bangsa Arab tidak mengenal kamus sebelum era Abbasiyah, tidak ada keraguan bahwa pemikiran leksikal telah menjadi jati diri mereka sejak mereka mulai menjelaskan Alquran, dan jika meraka tidak memahami kata kata dalam Alquranmaka kembali ke sastra sastra kuno mereka terutama syi’ir, untuk mengetahui maknanya.

2. Faktor-faktor Kemunculan Ilmu Mu’jam
Tampaknya metode pengumpulan kosakata dan kamus adalah perlunya orang-orang Arab untuk menjelaskan apa yang tidak dimengerti dari kosakata Alquran dan keinginan mereka untuk menjaga buku mereka agar tidak ada kesalahan dalam pelafalan atau pemahaman karana Bahasa Arab merupakan bahasa dengan karakter kaya akan kosakata dan memiliki kesamaan makna pada beberapa kata. Maka dari itu, selain karena kebutuhan terhadap kodifikasi bahasa dalam bentuk tulisan di kalangan bahasa Arab, hal tersebut juga menjadi faktor pendukung bagi bangsa Arab untuk menyusun kamus. Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong Bangsa Arab menyusun kamus, di antaranya:
1. Kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
2. Keinginan mereka untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk bahasa tulis.
3. Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al-Qur’an dan hadits tentang Gharaib (kata-kata asing).
4. Munculnya ilmu-ilmu metodologis pertama dalam Islam.
 
3. Periodisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Mu’jam
Menurut pendapat Abed al-Jabiri, aktivitas kodifikasi bahasa bukan sekedar “pembukuan” dalam arti pencatatan. Kodifikasi merupakan peralihan bahasa Arab yang tidak ilmiah kepada bahasa ilmiah. Pengumpulan kosakata bahasa dan penetapan cara-cara derivasi dan morfologinya, penetapan kaidah-kaidah struktur serta pemilihan tanda-tanda untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam penulisannya, semua itu tidak hanya disebut penciptaan ilmu baru, yakni ilmu bahasa Arab tetapi juga penciptaan bahasa baru yakni bahasa Arab fusha . Proses kodifikasi, pada akhirnya merubah bahasa Arab dari semula yang tidak ilmiah (tidak bisa dipelajari secara ilmiah) menjadi bahasa ilmiah atau bahasa yang tunduk kepada sistem yang juga diikuti oleh banyak ilmuan.
Proses pengumpulan dan kodifikasi bahasa berawal dari kekhawatiran di kalangan bangsa Arab sebagai kaum minoritas akan terjadinya kerusakan bahasa yang dikarenakan menyebarnya dialek yang menyimpang (lahn) dalam masyarakat. Karena terjadinya lahn yang disebabkan oleh terjadinya percampuran antara orang Arab dan non-Arab (mawali) di kota-kota besar semisal Irak dan Syam, maka wajar jika bahasa Arab yang dipandang valid (al-Lughah al-Shahihah) dicari dari orang-orang Badui khususnya dari kabilah-kabilah yang masih terisolir dan masyarakatnya masih memelihara insting dan “kemurnian” pelafalannya. Karena itu, para leksikolog lebih mengarahkan periwayatan bahasa kepada orang Badui.
Penyusunan mu’jam bahasa Arab sebagai karya linguistik yang komprehensif diawali pada abad kedua hijrah. Saat itu, para linguitik Arab mengumpulkan bahasa dari kabilah-kabilah Arab di beberapa daerah. Mulai dari jazirah Arab, kemudian dareah dekat Iraq sampai akhirnya mereka mendapat ilmu bahasa di daerah Bashrah dan Kufah. Di daerah itu, para linguistik mengambil bahasa fusha dan meninggalkan sighat dan lafaz yang tidak fusha. Kabilah-kabilah  yang dekat dari Arab mengadopsi bahasa hingga tergolong ke dalam kategori fusha dan meninggalkan lahjah kabilah yang jauh dari fusha. Bahasa fusha tersebut diambil dari kabilah Qais, Tamim, Asad, Huzail, dan sebagaian kabilah Kinanah dan Tha’i .
Beberapa pengarang Arab mengakui bahwa Mu`jam `Arabi muncul pertama kalinya pada abad ke dua Hijriyah. Hal ini antara lain ditandai dengan kehadiran karya al-Khalil bin Ahmad (w.170 H.). Beliau telah menyusun sebuah kitab yang bernama Kitab al-`Ayn. Kitab tersebut disusunnya dengan kata-kata yang dimulai oleh huruf (ع`Ayn), kemudian setelah abad ke dua hijriyah baru disusun pula berpuluh-puluh kitab mu`jam dengan susunan yang bervariasi . Kitab al-`Ayn yang merupakan nama kamus arab pertama merupakan karya yang lahir dari ijtihad lughawi yang luar biasa karena sistematika penyusunannya berdasarkan makharij al-huruf dari huruf ‘Ain atau artikulasi huruf paling belakang (halq) pada kerongkongan manusia hingga “ya” yang berartikulasi syafawi.
Untuk memudahkan kita melihat dan mengetahui perkembangan mu`jam tersebut, maka Emil Ya`qub telah menuliskannya dalam bukunya sebuah tabel yang cukup menarik tentang tidak kurang dari 20 mu`jam berikut dengan nama pengarangnya serta spesifikasi terpenting dari masing-masing mu`jam tersebut. Di situ terlihat dimulai dengan kitab al-`Ayn karya al-Khalil bin Ahmad sampai dengan kitab AlRa’id karya Jibran Mas`ud . 
Upaya yang dilakukan Al-Khalil tersebut kemudian diteruskan oleh ahli bahasa lainnya seperti Abu ‘Amru (w.206 H.) dengan mu`jamnya Al-Huruf, Ibn Darid (w.321 H.) dengan mu`jamnya Al-Jamharah, Al-Qali (w.356 H.) dengan mu`jamnya Al-Bari`, Ibnu Sa’idah (w. 458 H.) dengan mu`jamnya Al-Mukhassas, dan masih banyak lagi selain mereka, upaya tersebut terus berlanjut hingga ke zaman modern saat ini, sehingga kita dapati bermacam mu`jam telah menghiasi rak-rak yang ada di berbagai perpustakaan kita. Materi-materi yang termuat dalam berbagai mu`jam `arabi saat ini, baik klasik maupun modern umumnya masih tetap dalam keasliannya sebagai bahasa Arab yang diungkapkan orang-orang Arab di era kodivikasi dahulu.
Daerah Syam, Irak, dan Mesir tidak menjadi sasaran para linguistik untuk mengambil bahasa karena di daerah-daerah tersebut bahasa sudah tercampur dengan bahasa lain. Seperti halnya bahasa pada kota Hijaz, kabilah Arab di Yaman, bagian timur jazirah Arab yang juga telah bercampur dengan bahasa Hindi dan Habsyi tidak diadopsi oleh para linguistik Arab .
Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam ,  telah menuturkan ada tiga fase yang telah dilalui dalam pengumpulan bahasa Arab sehingga munculnya kitab mu`jam. Fase pertama adalah fase dimana bahasa dikumpulkan atas dasar kesepakatan, artinya seseorang ulama pergi ke pelosok desa lalu mendengar kata-kata yang berkenaan dengan sesuatu seperti tentang hujan, tentang tanaman, dan lain-lain, kemudian semuanya dicatat sesuai dengan yang didengarnya tanpa urutan tertentu. Fase ke dua adalah fase mengumpulkan kata yang berhubungan dengan topik tertentu lalu dibuat kitab sehingga dikenal adanya kitab al-matar dan kitab al-laban karya Abu Zayd (w.215 H.). Demikian pula kitab al-Ibil, kitab al-Khayl dan kitab Asma’ al-Wuhusy karya al-Asma`i (w.216 H.). Fase ke tiga adalah fase pembuatan al-Mu`jam secara sempurna dengan pola tersendiri yang sistematis, sehingga orang yang ingin meneliti makna sesuatu kata dapat melihat kitab tersebut.
Sejarah pencatatan bahasa dalam tulisan dilanjutkan oleh kemunculan para pakar bahasa yang hidup pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah. Mereka mulai mengarang karya-karya mereka dan mengumpulkannya dalam sebuah kitab. Sebagian dari karya mereka banyak yang sampai pada saat ini terdapat dalam bentuk tema-tema tertentu dalam bidang bahasa, seperti kitab Shigir fil Ibil, atau risalah Shigir fil Mathar dan sebagainya. Adapun tokoh-tokoh bahasa yang populer pada masa ini di antaranya:
1. Abu Zaid al Anshari (w. 215 h)
2. Al Ashma’iy (w. 210 h)
3. Abu Ubaidah (w. 209 h)
4. Nadha bin Syamil (w. 204 h)
5. Al Yazidiy (w. 202 h)
6. Abu Amr Asy-Syaibaniy (w. 202 h)
Para tokoh tersebut merupakan tokoh-tokoh bahasa kotemporer yang telah berperan besar dalam meriwayatkan kata-kata arab beserta nasnya. Mereka juga telah berusaha untuk mengkodifikasikan kata-kata arab dan menjelaskan dalil-dalilnya, serta mengemukakan pandangan mereka sebagaimana terdapat dalam kitab Tarajim Asma’ serta kitab-kitab lain yang sedikit sekali sampai kepada kita saat ini. Diantara pakar bahasa di atas hanya satu orang yang berasal dari ulama Kufah yaitu Abu Amr asy-Syaibaniy, murid dari Adh Dhabiy yang telah berkontribusi dalam mengumpulkan kata-kata arab dalam sebuah buku yang berjudul “al-Jim”, kitab al-Ibil, dan Khalqu Insan. Di antara kitab-kitab di atas, yang paling populer adalah kitab “al-Jim” dinamakan kitab  “al-Jim” karena karangan tersebut dimulai dengan huruf “Jim”.

4. Metodologi Pembuatan Kamus
Pada awalnya, proses pemaknaan kosakata dalam bahasa Arab dimulai melalui metode pendengaran (al-Sima’i), yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan orang-orang Badui. Selanjutnya, metode pendengaran bergeser ke metode analogi (Qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satunya, metode Qiyas ala Khalil yang mengedepankan derivasi kata melalui teknik khusus yang dikenal dengan Taqlibul Kalimah.
Khalil berinteraksi dengan 28 huruf hijaiyah sebagai kumpulan dasar (Majmu’ah as-Ashliyah) yang dari sana dihasilkan setiap percabangan yang terdiri dari dua hingga lima unsur. Kosakata dalam bahasa Arab, menurut metode Khalil, adakalanya terdiri dari dua huruf (Tsuna’i), tiga huruf (Tsulatsi), empat huruf (Ruba’i), dan lima huruf (Khumasi). Di samping itu, ada huruf tambahan yang bisa dibuang dan mengembalikkan kata Mazid (yang berimbuhan) kepada kata Mujarrad (bentuk asli tanpa tambahan). Atas dasar itu, ia mulai menyusun huruf hijaiyah yang satu dengan yang lain menjadi kata yang terdiri dari dua, tiga, empat, atau lima huruf dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang ada, misalnya : bada, daba, abada, bada’a, da’aba, dan seterusnya dengan tanpa melakukan pengulangan. Teknik ini yang disebut dengan Taqlib al-Kalimah .
Menurut sejarawan, kemungkinan penyusunan huruf ini (mulai dari dua hingga lima huruf) mencapai 12.305.412 kata atau gabungan huruf. Kemudian Khalil meneliti kata-kata atau gabungan huruf ini. Jika didapati kata itu digunakan (Musta’mal) dalam kenyataan semisal dharaba maka kata itu didokumentasikan dan dibukukan dalam kamus, sedang yang dalam kenyataan tidak digunakan semisal jasyasya, diabaikan (Muhmal). Hasil kodifikasi Khalil berupa sebuah kamus al-‘Ain yang merupakan kamus pertama dalam sejarah bahasa Arab.
Menurut Ahmad Amin (1878-1954), terdapat tiga tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.
1. Tahap pertama adalah tahap kodifikasi non-sistemik. Pada tahap ini, seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju desa-desa. Lalu, ia mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga Badui yang kemudian ia catat di lembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus.
2. Tahap kedua adalah tahap kodifikasi tematik. Pada tahap kedua, para ulama yang tengah mengumpulkan data mulai berfikir untuk menggunakan teknik penulisan secara tematis. Data terkumpul, mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik.
3. Tahap ketiga adalah tahap kodifikasi sistematik. Pada tahap ketiga, penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui.

5. Tipologi Kamus-kamus Arab
Kamus dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan kategori-kategori berikut:
1. Ditinjau dari segi tema
 • Kamus bahasa ( al-mu’jam al-lughawi ), yaitu kamus yang meliputi kata-kata atau istilah-istilah kebahasaan dengan menjelaskan secara bahasa, misalnya kamus al-munawwir karya Ahmad warson Munawwir, al-Kalali karya As’ad M. Al-Kalali, kamus Arab-Indonesia karya Muhammad Yunus, Mu’jam al-Musthalahat al-Lughawiyah karya Ba’labaki.
 • Kamus ensiklopedi (al-mu’jam al-mausu’i), yaitu kamus yang tidak hanya menyajikan peristilahan, tetapi juga dilengkapi dengan konsep dan penjelasan secara luas, misalnya al-‘Arabiyah al-Muyassarah karya Lembaga Kearaban, Amlaq al-Watd karya Ahmad al-Syarbasyi, Ensiklopedi Islam Departemen Agama RI dalam bahasa Indonesia, dan Ensiklopedi Islam karya Abdul Hafizh Anshari dan kawan-kawan dalam bahasa Indonesia.
 • Kamus historis (al-mu’jam al-tarikhi), yaitu kamus yang melacak asal dan perkembangan bahasa dari masa ke masa, misalnya kamus Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris, al-Muhith karya al-Fairuzabadi, Mustadrakat ‘ala al-Ma’ajim al-‘Arabiyah karya al-Namsawi dan A.F. Kremer.

2. Ditinjau dari segi jumlah bahasa yang digunakan
 • Kamus ekabahasa (al-mu’jam al-uhadi al-lughah), yaitu kamus yang menjelaskan makna atau istilah dalam suatu bahasa dengan bahasa itu. Denga kata lain kamus ini hanya menggunakan satu bahasa dalam menjelaskan makna, misalnya al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karya Louis Ma’luf, Lisan al-‘Arab Karya Ibnu Manzhur.
 • Kamus dwibahasa (al-mu’jam al-tsuna’i al-lughah), yaitu kamus yang menjelaskan makna kata atau istilah dengan bahasa lain. Bisa juga dikatakan sebagai kamus yang memberika padanan kata atau istilah dalam suatu bahasa dengan suatu bahasa lain, misalnya kamus al-munawwir karya Ahmad warson Munawwir, Qamus al-Tarbiyah Arabiyya-Injiliziyan karya al-Khuli, al-Kalali karya As’ad M. Al-Kalali.
 • Kamus multibahasa (al-mu’jam al-‘adid al-lughah), yaitu kamus yang menjelaskan makna kata-kata atau istilah dalam suatu bahasa dengan dua bahasa atau lebih, misalnya kamus Indonesia-Arab-Inggris karya Abdullah bin Nuh dan Omar Bakri, al-Mu’jam al-Falsafi karya Abd al-Mun’im al-Hifni.

3. Ditinjau dari segi materinya
 • Kamus umum (al-mu’jam al-‘am), yaitu kamus yang memuat segala macam kata dalam suatu bahasa, misalnya al-munawwir karya Ahmad warson Munawwir, al-Munjid fi al-Lughah wa al- A’lam karya Louis Ma’luf, Kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus.
 • Kamus khusus (al-mu’jam al-khash), yaitu kamus yang hanya memuat kata-kata atau istilah-istilah dalam bidang tertentu, misalnya Qamus al-Tarbiyah Arabiyya-Injiliziyan karya al-Khuli, Mu’jam Gharib al-Fiqh karya Muhammad Fu’ad “abd al-Baqi, Qamus ‘ilm al-Ijtima’ karya A.Z. Badawi.

4. Ditinjau dari segi susunannya
 • Kamus alfabetik (al-mu’jam al-faba’i), yaitu kamus yang memuat kata-kata atau istilah-istilah dengan maknanya secara alfabetik/abjad. Pada umumnya kamus disusun secara alfabetik dalam menjelaskan makna dari A sampai Z atau dari Alif sampai ya. Misalnya al-munawwir karya Ahmad warson Munawwir, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karya Louis Ma’luf, Kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus, Qamus al-Tarbiyah Arabiyya-Injiliziyan karya al-Khuli, al-Kalali karya As’ad M. Al-Kalali.
 • Kamus tematik (al-mu’jam al-maudhuu’i), yaitu kamus yang memuat penjelasan kata-kata atau istilah-istilah secara lengkap berdasarkan tema tertentu, misalnya The Cultural Atlas of Islam karya Isma’il Raji al-Faruq dan Louis Lamya al-Faruqi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesi oleh Ilyas Hasan menjadi Atlas Budaya Islam .


BAB III
PENUTUP

Kehadiran kamus menjadi sebuah keharusan dalam sebuah bahasa untuk mengembangkan makna, menghimpun kata, melestarikan bahasa, dan mewariskan peradaban yang dapat dikembangkan. Kebutuhan untuk kodifikasi bahasa dan hal-hal lain seperti kebutuhan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, keinginan untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk bahasa tulis, banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al-Qur’an dan hadits tentang Gharaib (kata-kata asing), dan kemunculan ilmu-ilmu metodologis pertama dalam Islam menjadi faktor-faktor kemunculan mu’jam.
Tiga periode atau tiga tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab dapat diidentifikasi yakni tahap kodifikasi non-sistemik, tahap kodifikasi tematik, dan tahap kodifikasi sistematik, dengan Khalil bin Ahmad al-Farahidi, guru Sibawaih sebagai guru bahasa Arab dan leksikolog paling awal dan mungkin terbesar. Khalil adalah ahli tata bahasa terbesar dan sastra abad kedua hijriyah yang menemukan, membuat teori, dan menetapkan mode ritmis puisi Arab dan menamainya. Kamusnya, al-‘Ain, kamus pertama kata Arab dan kitab tata bahasa (sintaks) dia mensurvei serta menemukan kata-kata dalam bahasa Arab serta menemukan 1.235.412 kata.
Metode pembuatan mu’jam dimulai dengan metode pendengaran (al-Sima’i), yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan orang-orang Badui, hingga metode pendengaran bergeser ke metode analogi (Qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Sedangkan kamus Arab yang dihasilkan dapat dibagi ke beberapa kelompok, dengan ditinjau dari segi tema, jumlah bahasa yang digunakan, materi, dan susunannya.

DAFTAR ISI

Al-Jabiri, Muhammad Abed. 1989. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD
Al-Khatib, Adnan, Al-Mu`jam al-`Arabi Bayna al-Madi wa al-Hadir, Kairo: Ma`had alBuhuth al-Arabiyah, Cairo, 1967.
Amin, Ahmad, Duha al-Islam, Juz 2, Kairo: Maktabah al-Nahdhah, 1956
Hijaz. Muhammad Fahmi, Usus Ilmu Lughah al-Arabiyah, al-Qahirah: Dar Assaqafah, 2003.
Hijazi, Mahmud Fahmi, Madkhal Ila `Ilm al-Lughah, Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1978
Ya`qub, Emil, Al-Ma`ajim al-Lughawiyah al-`Arabiyah, Beirut: Dar al-Thaqafah alIslamiyah, 1981.
https://yazidhady.wordpress.com/2017/03/30/sejarah-ilmu-mujam