Makalah Perkembangan Ilmu Balaghah

C. Perkembangan Ilmu Balaghah
a. Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi
Secara historis istilah balaghah muncul belakangan. Sebelum ilmu ini dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Ilmu yang membahas tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

b. Fase kritik sastra
Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu seperti yang kita ketahui saat ini, balaghah telah melalui sejarah yang cukup panjang untuk sampai pada titik yang kita pelajari saat ini. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase. Pada fase yang pertama, balaghah bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedang pada fase kedua, balaghah menjadi lebih mirip dengan uslubiyat atau stylistic.  Atau juga bisa disebut dengan Madrasah Adabiyah (Madzhab sastra) dan Madrasah kalamiyah (Madzhab ilmu kalam). Sedangkan al-Imam as-Suyuthi menamainya dengan ‘thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa ahlu al-falsafah’. 
Fase atau madzhab pertama adalah fase pertama kali lahirnya pembahasan balaghah, sebagaimana yang telah penulis singgung pada mukaddimah bahwa munculnya pembahasan balaghah adalah respon dari persoalan bagaimana mengetahui rahasia kemukjizatan al-Qur`an dan bagaimana agar seseorang dapat mengapresiasi nilai-nilai keindahan bahasa al-Qur`an. 
Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya lahir bukan di tangan para ulama Nahwu, akan tetapi lahir di tangan para ulama bahasa. Pada awalnya, pembahasan balaghah ini hanya bermuara pada penelitian untuk mengidentifikasi mana komunitas atau kabilah yang fushaha` (ahli fashahah) dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat memilah antara komunitas yang fushaha`dan kelompok yang tidak dianggap fushaha`, mereka mulai mencatat atau meriwayatkan warisan sastra dari komunitas ahli fashahah tersebut dan menolak untuk meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka. Alasan mengapa sebuah kabilah atau komunitas dianggap tidak fushaha` adalah adanya percampuran mereka dengan A’ajim (kaum non Arab) yang dengan itu disinyalir bahwa bahasa Arab mereka sudah banyak terpengaruhi dengan lahn (kesalahan berbahasa) kaum non Arab, atau dengan kata lain kemurnian dzauq‘Arabiy mereka sudah tidak murni lagi.  
Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab “majaz al-Qur`an” dan dengan karya al-Jahidz yaitu “al-Bayan wa at-tabyin” dan “I’jaz al-Qur`an”. Al-jahidz dalam kitab “al-bayan wa at-tabyin” telah memakai istilah balaghah dan bayan. Akan tetapi kedua istilah yang digunakan oleh jahidz tersebut belum mempunyai definisi yang jelas, dalam arti definisi yang dapat mencakup seluruh satuannya (Jami’) dan memisahkannya dari satuan yang tidak sejenis dengannya (Mani’). Al-jahidz hanya memaknai balaghah sebagaimana dimaknai oleh al-‘Ataby bahwa balaghah adalah kemampuan untuk memahamkan seseorang apa yang kita inginkan tanpa menggunakan alat lain selain bahasa. Dan begitu juga istilah bayan, al-jahidz belum menjelaskan definisinya dengan gamblang. 
Kemudian Abdul Qahir al-Jurjani muncul pada Abad ke 5 H dengan dua karyanya yang fenomenal yaitu Asrar al-Balaghah dan dalail al-i’jaz. Abdul Qahir menemukan teori tentang kalam nafsy (perkataan di dalam hati/akal yang tidak atau belum diucapkan).Pada gilirannya, teori ini menuntunnya kepada teori bagaimana menyusun konsepatau makna dalam nafs (hati/akal), lalu setelah itu ia tertuntut untuk menjelaskan proses produksi kalam atau perkataan. Sehingga pada akhirnya al-Jurjany sampai pada sebuah hasil, yaitu kerangka atau bingkai pemikiran yang terdiri dari empat unsur: an-Nadzam (susunan), al-bina` (bangunan), at-tartib (urutan), dan at-ta’liq (kaitan).
Dalam dalail al-i’jaz, al-Jurjany berpendapat bahwa kata tidaklah diciptakan untuk memberikan makna dengan sendirinya, akan tetapi antara kata-kata ituharus bergambung dan tersusun sehingga dapat memberikan sebuah arti atau informasi yang dapat dimengerti . Dan dalam asrar al-balaghah, ia mengungkapkan bahwa yang terpenting bagi seseorang (penutur bahasa) adalah ia harus sampai pada ungkapan yang jelas, isyarat yang benar, pembagian yang tepat, susunan struktur yang bagus, cara tasybih dan tamsil yang inovatif dan kreatif, ungkapan yang umum lalu berpindah pada yang lebih detail, menyambung dan memisahkan pada tempatnya yang benar, dan menggunakan hadzaf, ta’kid, taqdim, ta`khir dengan memenuhi syarat-syaratnya. 
Dalam taraf ini, al-Jurjany telah membahas pembahasan yang tidak dibahas oleh ulama  Nahwu atau Ulama lughah, yaitu pembahasan yang dilandaskan pada perasaan dan cita rasa keindahan yang terikat dengan aturan formal yang longgar dan tidak sampai pada tataran kaidah seperti yang ada pada disiplin ilmu nahwu. 
Itulah buah pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany, dan peraktik ril dari pemikiran tersebut dituangkan oleh seorang tokoh abad ke 6 H, yaitu Zamakhsyari dalam tafsirnya, “al-Kassyaf”, sebuah karya yang mengeksplorasi teks al-Qur`an dengan kritis serta mejelaskan keindahan dan keagungannya.
Pandangan al-Jahid, Ibnu Mu’taz, dan Abdul Qahir al-Jurjany tentang balaghah ini adalah pandangan yang benar-benar masuk dalam ranah cita rasa dan bermuara seputar ushul (prinsip-prinsip dasar) tanpa harus mengekanganya dengan kaidah-kaidah yang sempit, memberikan ruang yang luas untuk ekplorasi bakat dan menikmati keindahan sastra yang jauh dari ikatan kaidah. 
Jenis balaghah inilah yang kita sebut dengan balaghah sebagai ilmu pengetahuan, bukan disiplin ilmu, balaghah yang lebih mengfokuskan pada eksplorasi dan praktik ketimbang berkutat seputar teori dan kaidah-kaidah.  

c. Fase Uslubiyyat (stylistic)
Pada masa yang sama, dimana balaghah sebagai ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang, muncul juga pembahasan balaghah di kalangan ulama yang lain dengan orientasi yang berbeda. Yaitu pada abad ke 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam kritik sastra dan karyanya tersebut dinamaikan dengan “Naqd Qudamah”. Dalam kitabnya itu, ia melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis. Pembagian yang ia lakukan itu masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang datang setelahnya menyempurnakan pembagian itu dengan  membuatkan kaidah dan aturan. Qudamah berkeinginan untuk membuat sebuah kerangka bangunan yang abstrak yang memiliki klasifikasi dan memiliki definisi-definisi yang sangat menyerupai klasifikasi dalam ilmu nahwu. Menurutnya, syair terdiri dari empat unsur: lafadz, wazan, qafiyah, dan ma’na, karena ia mendefinisikan syair dengan “perkataan yang berwazan dan berqafiyah yang menjelaskan suatu makna”.
Setelahya datanglah Abu Hilal al-‘Askary, pemilik kitab “as-shina’atain”. Ia membahas seputar fashahah dan balaghah seperti pembahasan iijaz, hasywu, ithnab, dan tathwil, dan dalam kitabnya itu ia telah mengumpulkan 35 jenis badi’. Abu Hilal adalah orang yang sangat menguasai sastra, maka dari itu dapat menyajikan banyak syawahid dalam bukunya tersebut, tetapi dalam hal klasifikasi dan definisinya ia masih mengikuti metode Qudamah bin Ja’far, ia sekedar berlaku sebagai seorang pakar yang telah memiliki standar-standar untuk ia kiaskan.
Selain itu, muncul juga seorang ulama lain yang sangat cerdas yaitu Fakhruddin ar-Razi yang memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan Balaghah sebagai sebuah ilmu atau bisa juga disebut madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam/filssfat). Ar-razy mengarang sebuah karya dalam kajian balaghah yaitu “Nihayatul ijaz fi dirayatil i’jaz”. 
Karya Abu Hilal dan karya Fakhruddin ar-Razy, kedua mengillhami dan sekaligus memberikan mukaddimah bagi as-Sakaky yang hidup pada akhir abad ke 6 dan awal abad ke 7 H. Sebenarnya as-Sakaky bukanlah seorang sastrawan,dan bukan orang yang memiliki cita rasa yang tinggi dalam mengapresiasi dan meresapi keindahan sebuah karya sastra. Meskipun tidak bisa diragukan lagi bahwa ia adalah seorang ilmuan atau ulama dalam bidang bahasa Arab, nahwu, sastra, ‘arud, syair,kalam, dan fikih. Dalam kitabnya, “Miftah al-ulum”, ia membahas tiga ilmu secara berurut dari sharf, nahwu, kemudian balaghah dengan tiga pembagiannya, ma’any, bayan, dan badi’.
Budaya intelektual as-Sakaky sebagai seorang ilmuan sangat mempengaruhi gayanya dalam mengeksplorasi kajian balaghah. Ia tampak berlebihan dalam merancang definisi-definisi dan kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah itu sendiri sangat jauh dari makna penghayatan cita rasa dan kritik teks. Dengan adanya definisi dan kaidah-kaidah tersebut balaghah secara teori sangat mudah dikuasai akan tetapi sangat jauh dari malakah (semangat inovasi dan eksplorasi bakat).

d. Fase kejumudan ilmu Balaghah
Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai syarah dan ringkasan seputar kitab “miftahul ulum” karya as-Sakaky. Para penulis ilmu balaghah setelahnya tidak memberikan sumbangsih hal yang baru dalam ilmu balaghah, semuanya hanya mengikuti metode dan pembagian as-Sakaky saja, penambahan dan pengurahan hanya berkutat pada contoh-contoh, penjelasan, dan penyederhanaan. 
Manhajilmu al-Balaghah yang diusung oleh as-Sakaky memang sangat memudahkan untuk dimengerti dan diingat sehingga ia banyak diikuti oleh orang-orang  setelahnya, dan bahkan menjadi imam besar bagi disiplin ilmu ini. Kitabnya “miftah al-ulum”benar-benarbanyak sekali dibahas oleh orang-orang setelahnya hingga kitabnya itu banyak disyarah dan juga diringkas. Ia sendiri meringkas kitabnya itu dengan mengeluarkan kitab baru yang bernama “at-tibyan”, kemudian ibnu Malik juga meringkasnya dalam kitab “al-mishbah” dan al-Qazwaini juga melakukan hal yang sama dalam kitabnya “talkhish al-miftah” dan “Syarh al-idlah”. Kitab “mifath al-ulum” beserta syarhdan  talkhishnya yang dilakukan oleh Quzwaini benar-benar laku dan mendulang banyak perhatian di pasaran sehingga banyak sekali ulama yang kembali mengulas matan dan syarahnya, sebut saja dalam hal ini Sa’ad at-taftajany dan Sayyid al-Jurjany yang juga membuat syarah bagi kitab tersebut. Bahkan setelah itu, tidak sedikit dari kitab-kitab syarah yang bermunculan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa asing (non Arab).
Akhirnya, pada fase ini para pemelajar balaghah asik tenggelam dalam kaidah-kaidah, dan balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mencapai tadzwwuq atau mengapresiasi keindahan sastra, meski kini balaghah menjadi pembahasan yang penting dalam ranah yang saat ini dikenal dalam istilah linguistik modern dengan uslubiyat atau stylistics. 

D. Obyek kajian Ilmu Balaghah
1. ‘ILMU AL-MA’ÂNI
‘Ilmu Ma’âni adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan pola kalimat berbahasa Arab agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘ilmu al-ma’âni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur yang disampaikan kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai pencetus Ilmu Bayan adalah ‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H) .
Dari terminologi ‘ilmu al-ma’âni yang ingin menyelaraskan antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada pola-pola kalimat berbahasa arab dilihat dari pernyataan makna dasar—ashly, bukan tab’iy— yang dikehendaki oleh penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model ma’âni bukan pada struktur kalimat itu sendiri, akan tetapi terdapat pada “makna” yang terkandung dalam sebuah tuturan. Jadi yang terpenting dalam pembacaan ma’ani adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.

Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut, (1) Kalâm Khabar (2) Kalâm Insya’ (3) al-Qasr (4) Îjaz, Ithnab dan Musâwah.
1. Kalâm Khabar (statement sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak sesuai dengan fakta . Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;
Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:
إني فقير إلى عفو ربي
Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh:
إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh;
إني وضعتها أنثى
Dilihat dari sisi susunan gramatikalnya kalâm khabar dibagi kedalam dua bentuk :
Pertama: al-jumlah al-fi’liyyah (verbal sentence), menunjukkan suatu pekerjaan yang  temporal, dengan tiga keterangan waktu, sekarang, yang telah berlalu dan yang akan datang. Contoh:
أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا
Kedua: al-jumlah al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum (general thuth). Contoh:
الأرض متحركة والشمس مشرقة

2. Kalâm Insya’(originative sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur . Kalâm insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.
a. Insya’ thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi kedalam lima macam, yaitu :
 1) Al-`amr
Al-`amr adalah meminta terlaksananya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya, al-`amr dalam bahasa Arab memiliki empat bentuk, yaitu :
a) Fi’il `amr, contoh:
يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا ( مريم:12)
b) Fi’il mudhâri’ yang bersambung dengan lâm al-`amr, contoh:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ (الطلاق: 7)
c) Ism fi’il al-`amr, contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ { المائدة:105}
d) Mashdar sebagai ganti fi’il `amr, contoh:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا { البقرة: 83}

Selain model pola kalimat al-`amr juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a) Al-du’a` (do’a), contoh:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ { النمل: 19}
b) Al-Irsyâd (petuah bijak), contoh:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ (البقرة: 282)
c) Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {فصلت:40}
d) Al-Ta`jîz (melemahkkan), contoh:
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)
e) Al-Ibâhah (pembolehan), contoh:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة:187)

 2) Al-Nahy
Al-nahy adalah meminta dihentikannya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan menyambungkan fi’il mudhâri’ dengan lâ nâhiyah ( berarti: jangan..!) contoh:
وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ( الأعرف: 85)
Seperti halnya amr, struktur nahy juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a) Al-du’â`(berfungsi sebagai do’a), contoh:
رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (ال عمران:
b) Al-Irsyâd ( memberi petuah bijak), contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ… (المائدة: 101)
c) Al-Dawâm (keabadian), contoh:
وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ اْلأَبْصَارُ (إبراهيم:42)
d) Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
لا تطع أمري ايها الأخ..
e) Al-Tamannî (pengharapan), contoh:
يا ليل طلٍِ يا نوم زل  * يا صبح قف لا تطلع

 3) al-Istifhâm
Al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan adât al-istifhâm (kata sandang untuk istifhâm), yaitu: hamzah, hal, man, mâ, matâ, ayyâna, kayfa, aina, kam dan ayyu . Dilihat dari segi bentuk permintaannya, istifhâm dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a) Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi dan kadang meminta afirmasi (tashawwur). Adât yang digunakan adalah hamzah, contoh:
1) أ علي مسافر أم خالد؟ 2)    أ علي مسافر؟
b) Pertanyaan yang meminta afirmasi saja, adât al-istifhâm yang digunakan adalah hal.contoh:
هل يعقل الحيوان؟
c) Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja. Adât yang digunakan adalah semua adât al-istifhâm kecuali hal dan hamzah.contoh:
يسئلونك عن الساعة أيان مرسها؟
 4) al-Tamannî
Al-Tamannî adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang  tidak mampu digapai .
a) Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:
ألا ليت الشباب يعود يوما * فأخبره بما فعل المشيب
b) Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak mampu teraih, contoh:
يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)
Al-Tamannî memiliki satu `adât ashly yakni ليت dan mempunyai tiga `adât yang tidak ashly sebagai penggantinya, yaitu:
a) Hal (apakah, adakah, akankah…), contoh:
فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشْفَعُوا لَنَآ أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنهُم مَّاكَانُوا يَفْتَرُونَ (الأعراف:53)
b) Lau (jika, sekiranya..), contoh:
فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (الشعراء: 102)
c) La’alla( niscaya…), contoh:
أ سرب القطا هل من يعير جناحه * لعلي إلى من قد هويت أطير

 5) al-Nidâ’
al-Nidâ’ adalah meminta kedatangan sesorang atau sesuatu  dengan kata ganti yang bermakna “aku memanggil”. Ada delapan kata sandang dalam istifhâm, yaitu: hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan wâ. Hamzah dan aiy berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan `adât yang lain untuk sesuatu yang jauh dari pemanggil . Contoh:
أيا جميع الدنيا لغير بلاغة  * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت
Selain berfungsi memanggil, al-nidâ’ memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam arti nidâ’ antara lain:
a) Al-Ighrâ` (bujukan, anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah musuhnya:
يا شجاع أقدم..
b) Al-Zijr (hardikan, cacian), contoh:
يا فؤدي متى المتاب ألما *  تصح والشيب فوق رأس ألما
c) Al-Tahassur wa al-taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:
وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)
d) Al-Istighâtsah (permintaan pertolongan), contoh:
يا ألله…. حبي وهوائي مكتوم إليها
e) Al-Nudbah (ratapan/elegi), contoh:
فواعجبا كم يدعي الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل

b. Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’ . Contoh:
a) al-Madh wa al-Dzam,menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh:
نعم الكريم حائم….  وبئس البخيل مادر
b) Shiyaghu al-’Uqûd. kebanyakan menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh:
بعتك هذا ووهبتك ذاك
c) al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh:
لعمرك ما فعلت كذا
d) al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh:
كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)
e) al-Raja’, biasanya menggunakan, ‘asâ, hariyyu (la’alla) dan ikhlaulaqa, contoh:
عسى الله أن يأتي بالفتح

3. Al-Qashr (rhetorical restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah al-maqsûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah al-maqsûr ‘alaihi (yang dikhususkan) . Metodologi pembentukan qashr ada empat macam yaitu:
a) Al-nafyu wa al-istitsnâ`, contoh:
ما شوقي إلا شاعر وما شوقي إلا شاعر
b) Innamâ, contoh:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)
c) Mendahulukan kata yang seharusnya berada diakhir, contoh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)
d) Athaf dengan lâ, bal dan lakin, contoh:
عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني

Qashr dilihat dari eksistensinya ada dua macam:
Pertama: Qashr Haqîqy yaitu pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar dari itu. Contoh,  لا إله إلا الله
Kedua: Qashr idhôfi yaitu pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada diluar ujaran. Contoh:
إنما حسن شجاع

4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah (equality)
a. Îjaz adalah adanya makna yang luas dibalik kalimat yang pendek.  Îjaz ada dua macam, ada kalanya Qashr (meringkas) dan ada kalanya Hadf (membuang) . Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)
وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)
b. Ithnab adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و الروح فيها
c. Musâwah adalah kalimat dimana kata-katanya sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang.
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  *  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

5. Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu , contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)


2. ILMU AL-BAYÂN
Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi, Ilmu Bayân berarti  dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut .
Berangkat dari pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam metode untuk menyampaikan makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang merupakan metode penyampaian makna. Obyek kajian ilmu Bayan meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz, dan (3) Kinâyah.
1. al-Tasybîh(comparison) 
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman, tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata-sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat. Tasybîh mempunyai beberapa variabel, diantaranya: Musyabbah, Musyabbah bih -keduanya disebut sebagai dua titik pokok tasybih-, Adâtu al-Tasybîh dan Wajhu al-Syibhi . Dari beberapa variabel ini kemudian memunculkan beberapa macam tasybih, yaitu:
a. Tasybih Mursal, yaitu tasybih yang disebutkan adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب
b. Tasybih Muakkad, yaitu tasybih yang dibuang adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا
c. Tasybih Mujmal, yaitu tasybih yang dihilangkan wajah sibhi-nya., contoh:
كأنهن بيض مكنون
d. Tasybih Baligh, yaitu tasybih yang tidak ada adat dan wajah shibhi-nya, contoh:
ركبوا الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة  أنجم

2. Al-Majâz(allegory)
Majâz secara etimologi terbentuk dari kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual) .
Majâz ada dua macam, yaitu:
a. Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual) .Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.
 1) Isti’ârah
Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam :
a) Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah: adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
b) Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها *   ألفيت كل تميمة لا تنفع

Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada dua macam, yaitu:
a) Isti’ârah Ashliyyah : yaitu isti’ârah yang mana kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (إبراهيم: 1)
b) Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71)

Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi tiga macam:
a. Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
b. Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
c) Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27)

 2) Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya :
a) As-Sababiyyah , contoh:
له أياد علي سابغة  *  أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
b) Al-Musabbabiyyah, contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
c)  Al-Kulliyah, contoh:
يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
d) Al-Juz`iyyah, contoh:
فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
e) I’tibâr mâ kâna, contoh:
وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
f) I’tibâr mâ yakûnu, contoh:
إني أرني أعصر خمرا  (الآية)
g) Al-Hâliyah, contoh :
واسأل القرية التى كنا فيها (الآية)
h) Al-Mahalliyah, contoh:
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)

b. Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual) . Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:
1) Hubungan sebab akibat,  contoh:
وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
2) Hubungan waktu, contoh:
يوما يجعل الولدان شيبا
3) Hubungan tempat, contoh:
وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم
3. Al-Kinâyah(metonymy) 
Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu  yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.
Kinâyah dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Berkedudukan sebagai sifat,contoh:
قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير الرماد إذا ما شتا
b) Berkedudukan sebagai mausûf, contoh:
الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان
c) Berkedudukan sebagai nisbat, contoh:
إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج


3. ILMU AL-BADÎ’
Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi, Ilmu Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika, beberapa pepaês—ornamen perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi .
Secara gais besar ilmu badî’ mempunyai dua obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).
1. al-Muhassanât al-Lafdziyyah
a. al-Jinâs (paronomasia;pun),
Jinâs adalah adanya kesamaan dua kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada dua macam jinâs, yaitu :
1) Jinâs tâm : adanya kesamaan antara dua kata dari jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ {الروم: 55}
2) Jinas ghairu tâm: adanya perbedaan antara dua kata dalam satu macam diantara keempat macam persyaratan tersebut (syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)
b. al-Saj’(rhimed prose)
Saj’ dalam terminologi balâghiyyin berarti adanya dua kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama, kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap kalimat disebut dengan faqrah : Ada tiga macam saj’, yaitu:
1. Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu dua kalimat atau lebih yang wazan fashilah-nya berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا   وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
2. Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu dua kalimat atau lebih yang mana lafadz pada setiap faqrah-nya memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
3. Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah dua faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya, contoh:
فِيهَا سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ   وَأَكْوَابُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)
c. al-Tarshî’(homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam faqrah pertama (syathrah pertama) dengan faqrah sesudahnya dalam wazan dan qafiyah-nya . Adakalanya sama persis dalam wazan dan a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ  وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ ( الانفطار:13-14)
Dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya, contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)
d. al-Tasythir (internal rhyme)
Tasytîr adalah ketika pembagian penyair terhadap shadr dan ‘ajuz syair masing-masing menjadi dua bagian, dan antara shadr dan ‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh :
كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم

2. al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah
a. al-Tauriyah(paronomasia;pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai dua makna, pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua, makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki. Contoh:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
b. al-Thibâq (antithesis)
Tibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada dua macam tibâq , yaitu:
1) Tibâq al-Ijab, yaitu tibâq yang mana kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan  dan menegatifkan saja, contoh:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
2) Tibaq al-Salbi, yaitu tibâq yang hanya memeperlawankan kata negatif dan positifnya saja.
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة:44)
c. al-Muqâbalah (antithesis)
Muqâbalah adalah membuat susunan dua makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara berurutan. Contoh:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى  وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى  وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (الليل:5-10).
d. Husnu al-Ta’lil (conceit)
Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan . Contoh:
ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم.
e. Uslûb al-Hakîm(deliberate equivocation).
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak berbicara menjawab  sesuatu dan tidak sesuai dengan yang diharapkan orang yang bertanya. Dengan cara, keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.  contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة: 189)
Selain dari beberapa macam muhassinât al-ma’nawiyyah di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.

Halaman Sebelumnya "Makalah Sejarah Ilmu Balaghah"

Blogger
Disqus

No comments