Makalah Ilmu Kalam - Pemikiran Hasan Hanafi dan Harun Nasution Dalam Ilmu Kalam



KATA PENGANTAR

Dengan nama ALLAH yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang, penulis memanjatkan puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat, dan hidayah Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Begitupula shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah ini penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan, namun berkat bantuan yang diberikan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan-kesulitan tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian penulis lewat lembaran ini hendak menyampaikan ucapan terimah kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka, teriring doa agar segenap bantuannya dalam urusan penyelesaian makalah ini, sehingga bernilai ibadah disisi Allah swt.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses akhir dari segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi, olehnya itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Amin.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB I  PEMBAHASAN.........................................................................................
A.    HASAN HANAFI........................................................................................
1.      Riwayat Singkat Hidup Hasan Hanafi....................................................
2.      Pemikiran Kalam Hasan Hanafi ..............................................................

B.     HARUN NASUTION..............................................................................................
1.      Riwayat Hidup Harun Nasution..............................................................
2.      Pemikiran Kalam Harun Nasution...........................................................
BAB  II PENUTUP.................................................................................................
A.    Kesimpulan ...................................................................................................
Dafrar Pustaka
BAB I
PEMBAHASAN
A. HASAN HANAFI
1.  Riwayat Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh, karena itu sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi tradisional
 Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman system kepercayaan, yakni transedensi tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks social politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik,harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata theos dan logos,melainkan ilmu tentang kata (Ilm Al-Kalam).
   

Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu Hermeneutik yang mempelajari analisis percakapan (discourse anayisis),bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia, mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
 Hanafi ingin meletakkan teologi islam dalam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis.
 Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkret umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya dikalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun sosial, umat ini dilanda keterceraiberaian dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme kepribadian (muzawij; assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan umat Islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularissme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban), antara Timur dan Barat (politik), anatara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).
Secara historis teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada ddua tingkat: pertama, pada tingkat teoretis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativism.
\b. Rekonstruksi teologi
            Melihat sisi-sisi kelemahan tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologim menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemology lama yang rancu dan palsu menuju epistemology yang baru yang sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial; yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
            Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
            Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut.
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan                                      global antara berbagai ideologi. 
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem penduduk tanah di negara-negara muslim.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.
            Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tamauntuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan.
            Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori Ilmu dan teologi Islam yaitu:
Pertama, analiasis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empiric-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.

B. HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup Harun Nasution
            Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
            Setiba di tanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencemplungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan administrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua Lembaga Pembina Pendidikan Agama IKIP Jakarta, dan terakhir pimpinan Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta. Dengan bekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelumnya di Indonesia tentang studi Islam. Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu diperhatikan.
            Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang telah terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.




2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan akal
            Bukankah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian,”Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal lah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
            Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
            Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnnya kalau ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan teologi
            Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.



c. Hubungan akal dan wahyu
            Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
            Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya member interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.



BAB II
PENUTUP

A.     Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

Madqour, ibrahim, aliran dan teori filsafat islam , Bumi Aksara, Jakarta.1995
Nasution harun, akal dan wahyu dalam islam. UI Press, Jakarta, 1980
Qadir, C.A , filsafat dan ilmu pengetahuan dsalam islam, Yayasan Obor.Jakarta, 1991
Blogger
Disqus

No comments